Pasien terakhir hari itu baru saja keluar. Menyisakan Teresa dan 2 orang perawat yang akhirnya mampu menarik napas lega.
"Habis ini visit ya, Dok?" Tanya salah seorang perawat. Sedikit terkekeh karena ia menemukan Teresa meregangkan otot-ototnya sambil menarik napas panjang. Hari ini wanita itu sibuk bukan main. Dari jam 9 dia sudah standby di ruang praktek dan melayani 45 antrian. Dia bahkan belum melakukan visit untuk pasien-pasien rawat inap di berbagai bangsal.
"Iya, tapi syukurnya pasien rawat inap saya udah berkurang banyak. Cuma ada 3 di VIP." Kata Teresa, sambil membereskan barang-barang bawaannya.
"Seneng ya, Dok, lihat pasien-pasien udah pada pulang."
Lalu giliran Teresa yang terkekeh. "Seneng banget dong, artinya keadaan mereka udah membaik, kan? Ngomong-ngomong kalian makan siang di mana?"
"Di kantin aja sih kayaknya, Dok." Perawat yang lain menyahut. "Dokter mau makan bareng?"
"Mau, kebetulan saya bawa bekal. Tapi ketinggalan di mobil kayaknya. Saya ambil dulu ya?"
"Santai aja, Dok."
Teresa kemudian berlalu, meninggalkan dua rekan kerjanya yang masih perlu membereskan tumpukan rekam medik. Perempuan itu berlalu sambil bersenandung lagu mayor yang bahagia. Namun sesaat setelah ia menutup kembali pintu ruang prakteknya, Teresa terpaku.
Wanita berkemeja maroon itu berhenti melangkah ketika ia tanpa sengaja menemukan Dimitri duduk di salah satu kursi tunggu dekat poli rehabilitasi medik. Tidak ada yang gadis itu lakukan selain menatap tembok di seberangnya dengan tatapan kosong--seolah dia sedang terjebak dengan pemikirannya sendiri. Siang itu, lorong terlihat cukup lengang. Maklum, sudah hampir jam 2 siang. Orang-orang yang semula memenuhi lorong untuk mengantre di poli perlahan-lahan mulai berkurang--nyaris sepi malah.
Ketika Teresa melangkahkan kakinya dan membiarkan hak sepatunya beradu keras dengan lantai, saat itulah Dimitri menoleh. Gadis itu memberinya tatapan tajam sekaligus rapuh di saat yang bersamaan. Lalu ketika Teresa berada semakin dekat dengan Dimitri, gadis itu mulai berdiri.
"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Dimitri, dengan suaranya yang terdengar dingin dan mengintimidasi.
Awalnya Teresa ingin menolak, tapi mengingat ada beberapa hal yang juga ingin ia katakan pada Dimitri, akhirnya perempuan itu mengangguk. "Sure. Kamu mau kopi?"
***
Ruangan Teresa di lantai 8 ternyata cukup luas. Dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, Dimitri bisa melihat dengan jelas kemacetan yang terjadi siang itu. Melihat ruangan tempatnya berada saat ini, Dimitri yakin bahwa Teresa pasti punya jabatan lebih dari sekadar dokter neurologi di rumah sakit ini. Dan untuk beberapa lama, Dimitri baru menyadari bahwa wangi ruangan Teresa sama dengan wangi ruang kerja Pram di rumah.
"Maaf ya, kamu jadi nunggu lama." Ucap Teresa. Wanita itu datang dengan dua cangkir americano panas dan beberapa keping biskuit rendah gula di atas piring. Kemudian ia duduk di kursinya, berhadapan dengan Dimitri yang masih saja mengintimidasinya.
"Kayaknya ini pertama kalinya kita ketemu ya?" Teresa kemudian menyambung. "Ada perlu sesuatu? Soalnya nggak mungkin kamu jauh-jauh datang kemari kalau kamu nggak ada perlu sama saya?"
"Saya cuma ingin memastikan hubungan kamu sama Pram." Kata Dimitri. Ia berusaha berkata terus terang dan mempersingkat waktu pertemuan di antara mereka.
Karena kalau boleh jujur, Dimitri tidak suka bertemu dengan Teresa. Ini bukan soal status perempuan itu sebagai mantan kekasih Pram, tapi Teresa terlihat sangat mahal bahkan dengan hal-hal paling sederhana sekali pun. Perempuan itu punya segala hal baik yang perempuan lain inginkan. Wajah yang rupawan, tubuh yang terbentuk dengan sempurna, cerdas dan punya pekerjaan yang keren. Berjalan di belakang Teresa seperti barusan diam-diam membuat Dimitri merasa seperti sedang terkikis. Dia jadi menyayangkan kenapa Teresa harus putus dengan Pram padahal keduanya adalah orang yang sepadan. Seseorang yang terlihat sempurna sudah seharusnya bertemu dengan seseorang yang terlihat sempurna lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramoedya [PREVIEW]
Romansa[Sudah tersedia di toko buku] Dimitri kembali pulang, tapi di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa pulangnya tidak lagi terasa sama. Yang dibawanya bukan hanya koper dan kenangan dengan kota New York, tapi juga rindu. Rindu yang sampai mati pun ia...