14. Will You Marry Me?

8.1K 2.3K 124
                                    

Dimitri nyaris lupa kapan terakhir kali dia bisa menikmati suatu hari yang cerah dengan langit biru, matahari yang bersinar terik dan awan-awan putih bersih yang terbang menyusuri langit. Dengan mata memejam, gadis itu menikmati embusan angin yang begitu lembut membelai rambut. Di sekelilingnya ramai--karena fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik memang tidak pernah sepi, jadi Dimitri bisa mendengar berbagai macam lelucon atau bahkan gerutuan dari bibir manusia-manusia banyak pikiran di sekelilingnya.

"Gue sebenernya emang nggak suka sama Pak Pram, tapi cara ngajar dia bikin gue pinter anjir." Pada detik dimana Dimitri mendengar nama Pram disebut, Dimitri menoleh dan ia menemukan segerombolan mahasiswi duduk tak jauh dari tempatnya.

"Asli, gue kaget banget pas gue tiba-tiba dioper dospem." Yang lain menyahut dengan nada lesu.

"Lo dioper ke siapa?"

"Bu Lina, tapi kalian ngerasa aneh nggak sih Pak Pram tiba-tiba resign begini? Secara dia workaholic selama ini."

"Mungkin dia emang lagi ada masalah, atau udah kebanyakan duit?"

Segerombolan mahasiswi itu tergelak, berbanding terbalik dengan Dimitri yang justru merasa kebingungan. Dia tahu bahwa Pram memutuskan untuk berhenti sebagai konsultan politik dan tidak akan aktif lagi di berbagai LSM yang ia ikuti selama ini, tapi Dimitri tidak pernah tahu bahwa Pram juga berhenti dari profesinya sebagai dosen. Dan seolah keheranannya belum selesai, gadis itu menemukan Apollo berlari kencang dari kejauhan. Bahkan beberapa kali anak itu terlihat tanpa sengaja menabrak orang lain.

"Dim-Dim!!!" Kemudian anak itu berteriak, padahal jarak di antara keduanya sudah cukup dekat. "Dim-Dim! Lo udah denger kalau Pak Pram mengundurkan diri?"

Untuk beberapa lama, Dimitri tidak langsung menjawab. Gadis itu menatap keberadaan Apollo dengan sukar. Lebih tepatnya, pikirannya yang terlalu sukar untuk berbicara mengenai masalah ini.

"Gila! Pantes aja kelakuannya dari kemarin aneh banget." Sambung Apollo, sembari menyugar rambutnya dengan hela frustasi.

"Aneh gimana?"

"Lo ingat jurnal keramat nggak sih? Kemarin Pak Pram ngasih jurnal itu ke gue masa?" Pernyataan itu semakin membuat Dimitri bertanya-tanya. "Gue pikir tuh jurnal bakal diwarisin ke lo. Secara lo kan... ceweknya."

Dimitri sudah terlalu sering mendengar dan melihat keberadaan jurnal itu di ruangan Pram. Sayangnya, Dimitri tidak pernah tertarik sedikit pun dengan eksistensi jurnal itu tidak peduli ada berapa banyak orang yang menginginkannya. Di hadapannya, Apollo masih bicara banyak mengenai tingkah laku Pram beberapa hari belakangan ini. Mulai dari bagaimana laki-laki itu membalas pesan Apollo lebih cepat dibanding biasanya. Sampai cerita mengenai keduanya yang memutuskan untuk pergi minum kopi berdua di cafe daerah Matraman.

"Di?" Lalu Apollo menggeser duduknya lebih dekat, "lo nggak ada masalah apa gitu sama Pak Pram? Iya sih, kadang gue suka jengkel sama dia, tapi gue juga nggak mau Pak Pram pergi dari kampus."

"Ya terus lo mau gue ngapain?" Tanya Dimitri. Gadis itu terdengar cukup kesal sebab Pram tidak pernah mengatakan apapun padanya.

"Ya lo bisa bujuk dia buat nggak resign?"

"Lo sendiri tahu kalau si Pram orangnya kayak gimana--keras kepala. Kalau ini emang pilihan dia, ya udah--nggak bisa diganggu gugat."

"Dia nggak cerita gitu sama lo?" Apollo bertanya sekali lagi. Anak itu masih heran tentang perubahan Pram yang cukup drastis dalam beberapa hari.

Pertanyaan Apollo terdengar cukup sederhana, tapi Dimitri tiba-tiba tidak bisa mengatakan apapun. Gadis itu pikir, hubungannya dengan Pram yang selama setahun belakangan ini cukup riskan mulai membaik. Tapi ketika ia mendengar keputusan Pram tanpa berbicara dulu padanya, Dimitri merasa bahwa masih ada hal-hal yang berusaha laki-laki itu tutupi darinya.

Pramoedya [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang