Berulang-ulang kali Dimitri memperhatikan tampilan google maps yang menyala pada head unit. Alat digital itu bersuara berkali-kali, menunjukkan arah menuju rumahnya. Kemudian ia menoleh ke arah Pram, laki-laki itu bersikap seolah dia tidak terganggung sama sekali dengan suara google assistent yang terdengar berisik semenjak mereka keluar dari area rumah sakit. Tapi karena Pram terlihat begitu lelah, Dimitri enggan berkomentar. Gadis itu memutuskan untuk menikmati perjalanan tanpa ada pembicaraan yang berarti di antara mereka. Termasuk membahas fakta bahwa Dimitri tahu jika semalam, yang menelepon laki-laki itu adalah Teresa.
"Pram, kamu lapar nggak?" Kalimat itu adalah yang pertama kali Dimitri ucapkan semenjak mereka berada di dalam mobil.
"Enggak. Kamu lapar?" Tanya Pram, hanya untuk menemukan Dimitri mengangguk tak lama setelahnya. "Udah mau nyampe, aku masakin aja gimana?"
Pertanyaan itu jelas membuat Dimitri tertegun. Pram memang jago masak, tapi nyaris 5 tahun mereka berpacaran, melihat Pram memasak makanan untuknya adalah sebuah tindakan yang cukup mustahil. Maksudnya, sekali atau dua kali sih memang pernah, itu pun sekitar 3 tahun yang lalu. Jadi bukankah sebuah keajaiban dunia jika dia mendengar laki-laki itu menawarkan diri untuk memasak di rumahnya?
"Wah, beneran kesurupan nih om-om."
"Mau apa enggak?" Pram bertanya sekali lagi, membuat Dimitri bertepuk tangan dengan wajah yang jumawa.
"Ya mau lah! Yakali enggak. Kapan lagi kita menyaksikan seorang Pak Pram masak?"
"Kayak aku nggak pernah masakin kamu aja." Komentar Pram.
"Iya, 3 tahun yang lalu. Kalau itu umur bayi, kayaknya lagi lucu-lucunya deh."
Pram terkekeh, bersamaan dengan mobilnya yang mulai memasuki kawasan rumah Dimitri. Gadis itu tinggal di sebuah kawasan elit di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Karena gadis itu tinggal di kawasan orang-orang sibuk, jalanan perumahan terlihat cukup sepi. Hal tersebut membuat Pram kembali berpikir dalam-dalam perihal kesepian yang hampir semua orang miliki. Kesepian yang terkadang tidak bisa dibicarakan pada siapa-siapa. Di luar, seseorang mungkin saja tertawa begitu keras. Tapi nyaris tidak ada yang tahu bahwa terkadang, kesepian itu kerap membuat orang-orang meringkuk di dalam kamarnya yang gelap. Terbaring di atas kasurnya yang dingin sembari menerka-nerka, akankah besok hidup bisa berjalan lebih baik dari hari ini?
Pernah Pram begitu ketakutan memikirkan soal kesepian yang ia miliki. Tak jarang dia bahkan terjaga dari tidurnya di tengah malam hanya untuk menyadari bahwa kini ia tidak memiliki siapa-siapa. Ia memandang langit-langit kamarnya yang gelap dengan perasaan yang resah--takut jika dia tidak mampu bertahan dalam kesepian itu jauh lebih lama. Dan seolah belum cukup, ia harus menerima kenyataan bahwa entah kapan, ingatannya akan menghilang sedikit demi sedikit. Sampai kepalanya kosong dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain menjadi manusia tak berguna.
"Bisa jadi kamu juga nggak akan ingat siapa diri kamu, Pram." Itulah yang dikatakan Teresa setahun yang lalu. Perempuan itu memberi tahu kenyataan pahit bahwa dia bukan hanya kehilangan ingatan, melainkan dirinya sendiri. Lalu apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tidak ada.
"Pram?" Laki-laki itu terlonjak saat Dimitri menggoyang pundaknya beberapa kali. Sampai ia tersadar bahwa dia telah lama berhenti di depan pagar rumah gadis itu. "Kamu lagi ada masalah ya?"
Pram menggeleng. Sesaat setelah melepaskan seatbeltnya, laki-laki itu mengusap puncak kepala Dimitri. "Enggak, kecapekan aja kayaknya."
"Are you sure?" Dimitri bertanya sekali lagi, dan Pram tidak punya pilihan lain selain mengiyakan dengan senyum lebar yang ia buat-buat. Dimitri tidak perlu tahu, ketakutan macam apa yang tengah ia hadapi saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pramoedya [PREVIEW]
Romance[Sudah tersedia di toko buku] Dimitri kembali pulang, tapi di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa pulangnya tidak lagi terasa sama. Yang dibawanya bukan hanya koper dan kenangan dengan kota New York, tapi juga rindu. Rindu yang sampai mati pun ia...