18. Selamat Pagi, Pemilik Hati

11.4K 2K 103
                                    

Masih basah dalam ingatan Pram tentang tangisan nanar Dimitri sembari melamarnya semalam. Gadis itu datang seperti seseorang yang sedang sekarat dan kehilangan harapan dalam hidupnya. Tapi pagi ini, ketika Pram sudah rapi dengan setelan joggingnya, gadis itu sudah terlihat sibuk di dapur apartemennya. Ia menyeduh kopi hitam dengan sedikit gula, menyediakan dua lapis sandwich dan memotong beberapa apel dengan bentuk kelinci yang... agak aneh.

"Selamat pagi, Pemilik Hati!" Lalu ia menyapa dengan senyum lebar seolah-olah tangisan nanarnya yang semalam tidak memiliki makna apa-apa. Tapi kedua matanya masih terlihat sembab, barangkali dia masih menangis bahkan di tengah malam.

"Sarapan yuk, aku udah bikinin sandwich kesukaan kamu." Setelah itu ia melepaskan apron dan duduk di seberang meja, menunggu Pram untuk datang bergabung. Masih dengan senyum lebar yang terlihat sangat janggal.

Sementara ditempatnya berdiri, Pram dibuat kebingungan. Jarang-jarang mood Dimitri bisa berubah secepat ini. Karena biasanya, butuh waktu yang lama dan rayuan yang ekstra supaya gadis itu tidak marah lagi dengannya. Tapi pagi ini, setelah kejadian yang penuh derai air mata dan suara-suara ratapan, gadis itu tiba-tiba bertingkah ceria seolah tak memiliki kekhawatiran apapun.

"Kamu mau kemana?" Kemudian gadis itu bertanya, tepat ketika Pram menjatuhkan bokongnya di kursi lain di seberang meja.

"Lari pagi. Ikut?" Tawarnya, sambil menenggak kopinya perlahan-lahan. Biasanya, Dimitri akan menggeleng cepat dan memberi seribu alasan agar dia tidak lari pagi (karena Dimitri benci jenis olahraga apapun). Tapi pagi ini, Pram dibuat tak habis pikir saat Dimitri mengangguk dengan semangat.

"Tunggu ya. Aku ganti baju dulu."

Ketika Pram menggigit sedikit sandwichnya, Dimitri beranjak. Gadis itu kemudian kembali tak lama setelahnya dengan setelah jogging dan menyengir lebar saat kembali menikmati sarapannya.

"Kita harus hidup sehat, Pram. Biar nggak mati muda." Komentarnya, persis seperti seorang ibu yang sedang menasehati anak laki-lakinya. "Jangan lupa minum vitamin juga. Tuh, di sebelah kamu. Udah aku siapin."

"Buat apa?" Pram mengernyit, tanda bahwa dia tidak mengerti dengan segala korelasi yang terjadi dalam waktu yang bersamaan pagi itu. "Maksudnya... tumben banget gitu?"

"Ya biar makin sehat aja. Kita itu harus bener-bener jaga kesehatan, Pram."

Lagi-lagi Pram tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak ingin banyak berkomentar dan membuat mood Dimitri kembali rusak hanya karena rasa penasarannya saja. Akhirnya dia hanya menyimpan semua itu dalam kepalanya sembari menghabiskan kopi dan sarapannya.

"Hari ini kita jogging kemana? Ayo, aku udah siap!" Seru Dimitri, hanya untuk membuat Pram menatapnya dengan pandangan bingung.

***

Dulu, Dimitri pikir hidup itu mudah untuk dijalani. Ketika ia masih sangat muda, hidup akan berjalan dengan baik jika dia mendengarkan dan menurut pada segala perintah orangtuanya. Hidup akan baik-baik saja selama dia terus ranking satu, rajin menabung, dan mampu berbagi dengan sesama. Dia benar-benar berpikir bahwa hidup tidak ada yang sulit. Sampai akhirnya dia dewasa dan tahu bahwa hidup tidak pernah sesederhan itu.

Dimitri lahir dan tumbuh dengan banyak cinta dari keluarga yang serba ada. Teman-temannya banyak dan mereka cukup sering bermain sebagaimana harusnya. Setelah dewasa, mencintai seorang laki-laki adalah hal yang baru dan pertama baginya. Di antara begitu banyak cinta dan perhatian yang pernah ia berikan pada yang lain, Pramoedyalah yang menerima paling banyak. Pada laki-laki bermata dingin itu, Dimitri membiarkan cinta tumpah ruah seperti keran yang rusak--tak terkendali. Jadi ketika ia tahu bahwa seseorang yang ia cintai akan melupakan dirinya cepat atau lambat, Dimitri seperti lumpuh. Dunianya seolah diterjang ombak yang terbawa badai di musim yang begitu dingin.

Pramoedya [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang