Chapter 6

38 7 0
                                    

Tangisan itu terdengar pilu. Tentu Jiya sangat kecewa. Ia sakit hati karena perbuatan Hyuga tadi. Jiya merasa, jika saatnya nanti dia akan memberikan semuanya untuk Hyuga. Namun, itu jika Hyuga memintanya dengan sadar dan ia memintanya karena itu Jiya, bukan orang lain. Jiya sangat membenci Hyuga saat ini.

Hyuga terbangun di pagi harinya dengan kepala yang amat sakit. Saat Jiya mendorongnya semalam ia langsung terlelap. Tidak menyadari apa yang telah ia lakukan. Hyuga memegang kepalanya lagi sambil sedikit meringis. Ia melirik jam dinding waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Tidak biasanya Hyuga bangun sesiang ini. Hyuga menyipitkan matanya sambil mengerjap-ngerjapkannya. Memproses cahaya yang masuk kedalam retinanya. Saat ia tersadar beberapa memori kejadian semalam terlintas di benaknya. Ia tersenyum miring.

"Hmm. Aku bermimpi aneh sekali." Monolognya. Hyuga bangkit dan melihat sebuah baju tidur tergeletak di lantai. Hyuga mengambilnya.

"Hah? Tidak mungkin. Yang semalam itu hanya mimpi kan?" Ucap Hyuga lagi. Tapi ia melihat baju tidur itu sudah koyak dan Hyuga sangat tau sekali siapa pemilik dari baju ini. Hyuga langsung membersihkan diri dan bergegas keluar kamar.

Ia berhenti di depan kamar Jiya. Menimbang apa yang harus ia lakukan dan katakan. Jiya pasti sangat membencinya. Hyuga mengepalkan tangannya dan memejamkan matanya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Jiya.

"Jiya." Panggil Hyuga. Hening tidak ada jawaban. Hyuga mencoba mengetuk sekali lagi. Namun tetap tidak ada jawaban. Hyuga mengetuk sekali lagi sambil terus memanggil nama Jiya. Akhirnya pintu terbuka. Jiya keluar dengan wajah murungnya. Hyuga melihat mata Jiya yang membengkak. Ia sedikit merasa bersalah. "Maafkan aku." Ucap Hyuga pelan.

"Jiya. Maafkan aku." Ulang Hyuga karena ia melihat Jiya hanya diam saja. Dengan perlahan Jiya akhirnya mengangguk lemah.

Suara ponsel menghentikan pembicaraan mereka. Hyuga mengangkat ponselnya dan melihat sebuah nama disana. Hyuga tersenyum tipis.

"Iya ma?" Jawab Hyuga. Jiya menatapnya sendu.

"Apa? Ah tentu. Aku akan kesana. Iya aku akan bawa Jiya. Baiklah ma. Sampai bertemu di rumah." Hyuga memasukkan ponselnya ke kantong dan menatap Jiya.

"Mama sakit. Dia meminta kita ke rumah. Kemasi barangmu. Kita akan menginap untuk beberapa hari kedepan." Ucap Hyuga. Ia melihat Jiya mengangguk dan kembali masuk ke kamarnya.

Jiya menghembuskan nafasnya. Ia masih teringat kejadian semalam. Jujur ia sangat canggung pada Hyuga sekarang. Namun Hyuga sudah meminta maaf. Sebuah kemajuan untuknya. Jiya akhirnya mengemasi beberapa potong baju dan memasukkannya kedalam tas. Ia juga lumayan merindukan mama Dianna. Ia sudah seperti ibunya sendiri.

***

Mereka sampai di kediaman Mallory saat siang hari. Sepanjang perjalanan Jiya hanya diam. Tidak berani berkata apapun. Begitupun Hyuga. Ia hanya sedikit mencuri-curi pandang pada Jiya yang masih terlihat sendu.

Jiya akan turun dari mobil namun sesuatu menahan tangannya. Jiya menoleh menatap Hyuga yang sedang menggenggam tangannya erat. Jiya langsung menarik tangannya.

"Dengar. Mama sedang sakit. Tolong bersikaplah baik padanya. Aku sudah berjanji pada mama untuk menerimamu sebagai istriku. Tolong bersikaplah layaknya kau istriku. Bersikaplah seperti kita adalah pasangan yang bahagia." Ucap Hyuga datar. Jiya menatap wajah dingin di hadapannya. Ia langsung memalingkan wajahnya dan turun dari mobil. Mengapa? Mengapa harus berpura-pura? Ah Jiya lupa bahwa Hyuga masih mencintai Jihan.

Hyuga menghela nafasnya. Jiya masih marah padanya. Dia sangat merasa bahwa apa yang ia lakukan adalah salah. Namun Hyuga sudah meminta maaf. Gengsinya terlalu tinggi untuk membujuk Jiya agar tidak marah lagi padanya.

Butterfly Effect [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang