Chapter 9

37 7 5
                                    

Malam sudah larut saat Hyuga masuk ke dalam rumah dengan tampang yang kusut. Dia terlihat pusing dan sedikit berantakan. Jiya yang saat itu masih menonton televisi melirik Hyuga dengan ekor matanya. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Hyuga. Sebenarnya Jiya sangat ingin bertanya. Namun Hyuga melarangnya untuk ikut campur urusan pribadinya. Jadi Jiya mengurungkan niatnya. Tapi tetap saja sebagai seorang istri dia sangat khawatir melihat keadaan Hyuga yang seperti itu. Terlebih Jiya sebenarnya adalah istri yang baik. Ia sangat ingin melayani Hyuga namun ada rasa takut disana. Ia takut Hyuga akan memarahinya lagi atau mengata-ngatai nya dengan kata-kata yang nanti membuatnya sakit hati.

Hyuga mulai melangkah masuk ke kamarnya tanpa berkata apa-apa. Jiya akhirnya bangkit, bagaimanapun ia adalah istrinya. Ia harus melayani suaminya. Jiya pernah berjanji pada dirinya sendiri, jika suatu saat ia menikah maka ia akan melayani suaminya dengan baik. Terserah bagaimanapun perlakuan suaminya terhadap dirinya.
Jiya mengikuti Hyuga dan mengetuk kamarnya. Terdengar sahutan dari dalam.

"Hyuga." Panggil Jiya sambil mengetuk lagi. Tak lama Hyuga membuka pintu kamarnya masih dengan setelan kerjanya dan wajah kusutnya.

"Apa?" Tanyanya singkat dengan ekspresi datar.

"Apa kau sudah makan malam? Hari ini aku memasak. Apa kau mau kupanaskan makanan? Kali ini tidak ada udang." Tanya Jiya pelan. Ia langsung menunduk dan memejamkan matanya saat selesai mengatakan itu. Takut jika Hyuga akan membentaknya.

Ekspresi Hyuga melembut. Ia melihat Jiya yang memejam dengan erat. Ia tahu bahwa Jiya mungkin mengantisipasi jika ia akan marah kepadanya.

"Baiklah. Aku akan menyusulmu ke ruang makan setelah membersihkan diri." Jawab Hyuga. Jiya membuka matanya dan tersenyum. Sedikit terkejut juga karena respon Hyuga tidak seperti bayangannya.

"Baiklah. Aku akan panaskan makanan." Lanjut Jiya dan pergi ke dapur.

Beberapa menit kemudian Hyuga benar-benar menghampiri Jiya yang sudah berada di ruang makan. Hyuga terlihat lebih segar dengan kaos putih polosnya yang hampir menyerupai warna kulitnya. Rambutnya sedikit basah. Jiya sempat terpaku beberapa detik. Ia sedikit terpesona dengan Hyuga. Tentu saja. Karena dia suaminya. Tapi sayangnya mereka harus hidup seperti ini. Cerita yang tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran Jiya ketika ia menikah akan seperti ini. Ia memimpikan kehidupan pernikahan yang baik dan harmonis.

Deheman Hyuga membuyarkan lamunan Jiya. Ia tersadar dan kembali menghidangkan semangkuk nasi kepada Hyuga. Ia juga mengambil air minum dan menyerahkannya kepada Hyuga.

"Apa kau ingin makan sendirian atau--"

"Tetaplah disini." Balas Hyuga cepat. Jiya mengangguk dan duduk di depan lelaki itu. Jiya hanya bertanya seperti itu karena ia takut jika Hyuga akan terganggu dengan kehadirannya. Terlebih ia mendengar bahwa kesalahan Jiya adalah telah hadir di hidup Hyuga. Jiya tersenyum hambar mengingat ucapan Hyuga yang menyakitkan itu.

Hyuga menyelesaikan makan malamnya. Jujur ini terasa nikmat baginya. Karena sejak siang ia benar-benar tidak bernafsu untuk menyentuh makanan sama sekali. Banyak masalah di kantornya membuatnya pusing. Belum lagi kerugian yang harus ia tanggung juga calon investor yang pergi darinya.

Jiya menatap lekat lelaki di hadapannya ini. Sedikit lega karena Hyuga memakan makanannya dengan lahap. Jiya memperhatikan wajah Hyuga. Wajah yang tegas, dingin namun indah jika tersenyum. Dulu saat ingatan Hyuga belum kembali dan ia masih menganggap dirinya adalah Jihan, Hyuga banyak tersenyum. Begitu besar pengaruh Jihan di hidupnya. Hyuga terlihat bahagia. Namun sejak menikah dengannya, Jiya hanya melihat wajah datar Hyuga atau wajah marahnya. Ia tidak pernah melihat senyum ataupun tawa Hyuga lagi saat Hyuga bersamanya. Lagi-lagi Jiya tersenyum hambar. Hyuga yang merasa diperhatikan, langsung menatap mata Jiya. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya.

Butterfly Effect [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang