"Apa yang kau lakukan?" Tanya Hyuga dengan tatapan mengintimidasinya. Jiya hanya menunduk.
"Jawab!!! Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu. Kau itu istriku. Bagaimana bisa kau membiarkan seorang lelaki menyentuhmu? Apa kau sebegitu inginnya disentuh? Kau murahan, hah? Katakan padaku. Berapa Dave membayar mu agar dia bisa sesukanya menyentuhmu?"
Jiya masih menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Jiya sangat ingin membalas ucapan Hyuga yang menyebutnya 'murahan' namun ia sekuat tenaga menahannya. Menahan semua amarahnya yang akhirnya meluruh menjadi butiran bening di matanya.
"Jawab!!!" Suara itu terdengar lagi. Jiya menatap netra tajam di depan wajahnya dengan tatapan penuh arti. Nampaknya Hyuga memang kesal. Jiya tidak ingin mengatakan apapun dan memilih meninggalkan lelaki itu menuju kamarnya. Jiya menumpahkan semuanya. Rasa kecewanya, sakit hatinya juga emosinya.
"Aku lelah bu. Aku ingin ikut dengan ibu." Lirih Jiya ditengah isak nya.
Hyuga masih mengepalkan tangannya. Ia sangat marah namun bingung di waktu yang sama. Memikirkan mengapa ia bisa semarah ini? Padahal jika diingat, Hyuga dan Jiya pernah menandatangani pernyataan bahwa mereka tidak akan ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Tapi mengapa Hyuga sangat terganggu dengan kedekatan Jiya dan Dave. Apalagi melihat Jiya tersenyum lepas pada saat bersama lelaki itu. Ada rasa aneh yang mengganjal di hati Hyuga namun ia tidak tahu itu apa. Hanya penyangkalan dan pembenaran bahwa semua perbuatannya itu benar karena Jiya adalah istrinya. Ia meyakini bahwa itu adalah perbuatan yang tidak salah karena ia menjaga nama baiknya dan keluarganya.
Menjelang sore baik Jiya maupun Hyuga tidak saling bicara. Jiya yang tidak ingin keluar dari kamarnya dan Hyuga yang tidak ingin memulai percakapan. Rumah terasa hening. Hyuga agaknya mulai sedikit merasa bersalah karena menyebut Jiya dengan kata yang tidak pantas. Padahal selama ini Jiya baik padanya. Tidak pernah sekalipun Jiya mengatainya atau menyebut Hyuga dengan sesuatu yang tidak pantas. Jiya berusaha menghargainya. Hyuga masih menimbang apakah ia akan meminta maaf pada Jiya. Tapi di sisi lain Hyuga mengatakan bahwa perbuatannya tidak salah karena Jiya sudah keterlaluan. Saat Hyuga sedang termenung di sofa, ia mendengar suara pintu dibuka. Tampaklah Jiya dengan mata sembabnya. Jiya menangis. Hyuga tahu itu. Tanpa sepatah kata pun, Jiya berlalu dari hadapan lelaki itu.
"Kau mau kemana?" Tanya Hyuga. Jiya tidak bergeming. Ia tetap berjalan menuju pintu.
"Aku bertanya padamu. Kau mau kemana? Apa kau ingin menemui Dave lagi?" Suara Hyuga mulai meninggi. Jiya berbalik dengan tatapan tajam.
"Aku akan pergi ke rumah Bianca. Aku tidak ingin disini. Apa kau puas?" Jawab Jiya kemudian berlalu tanpa berniat mendengar jawaban Hyuga. Gadis itu naik taksi yang sebelumnya sudah dipesannya dan menghilang di balik gelapnya malam. Meninggal lelaki itu yang meremat rambutnya.
***
Jiya menangis lagi di pelukan Bianca setelah menceritakan semuanya. Entah sudah berapa lama. Bianca berusaha menenangkan Jiya meski tangannya sudah terasa kebas karena Jiya terlalu lama memeluknya.
"Kau benar, Bi. Harusnya sejak awal aku tidak melakukan ini." Ucap Jiya di sela-sela tangisnya. Bianca mengangguk dan mengusap punggung sahabatnya itu.
"Tidak apa. Semuanya sudah terjadi. Kau hanya berusaha membantu orang lain. Aku tahu itu dan aku akan bersaksi bahwa kau orang paling tulus untuk membantu mereka. Jika kau merasa semua ini sudah cukup, sudahi saja Ji. Kau berhak bahagia. Cari bahagiamu sendiri. Karena sepertinya sejak kau menikah, kau lebih sering menangis daripada tersenyum." Balas Bianca sendu. Jiya mengangguk setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect [On Going]
FanfictionKau tau Butterfly Effect atau efek kupu-kupu? Sebuah kejadian kecil yang berdampak membawa perubahan sangat besar di masa depan. Ya seperti hidup gadis itu, yang berubah seutuhnya hanya karena dia melakukan kesalahan kecil. Hai semuanya. New book ak...