28. LAMARAN

39 5 12
                                    

Tidak pernah terlintas dalam pikiranku Milan akan seserius itu saat mengatakan akan datang ke rumah bersama ayahnya. Setelah membuka pintu aku terpaku, terbungkam tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Milan melambai beberapa kali tetapi aku masih tidak dapat menggerakkan tubuhku sampai ibu datang dan menepuk pundakku.

"Ada tamu kenapa tidak disuruh masuk."

"Ah, iya."

Milan dan Pak Hans sudah dipersilahkan duduk aku pun pergi ke dapur. Sembari menyiapkan minum dan cemilan aku terus bertanya-tanya apakah ini mimpi atau kenyataan. Tapi sepertinya ini nyata karena aku belum tidur seharian ini.

Aku membawa minum keluar. Kulihat di ruang tamu sudah ada ayah juga. Kedua orang tua itu tampak bersemangat membicarakan sesuatu.

"Bagaimana Pak, lamaran saya diterima?"

"Wah, tentu saja saya terima dengan senang hati."

Pak Hans dan Ayah saling berjabat tangan. Melihat itu piring berisikan camilan di tanganku meleset. Untung saja berhasil ditangkap Milan sehingga piring itu baik-baik saja hanya sedikit berbenturan dengan meja dan membuat suara berisik.

"Mil, tadi pagi aku cuma bercanda kamu kenapa serius banget nanggapinnya?" ujarku.

"Tapi aku serius gimana dong?"

"Kita masih sekolah, aku gak mau lamar-lamaran dulu." Aku agak meninggikan suara membuat semua orang di ruangan itu termasuk Ibu yang baru saja masuk terdiam. Mereka menatapku seksama membuatku tidak nyaman.

"Kamu kenapa Ran?" tanya Ibu.

Aku tidak menjawab sedangkan Milan tersenyum sampai giginya terlihat.

"Ran, kamu gak usah kepedean deh. Pak Hans ke sini mau lamarin pupuk yang baru saja diproduksi bukan mewakili anaknya." Seketika aku benar-benar malu mendengar penuturan Ayah. Aku langsung menenggelamkan wajah di atas meja sembari mendengarkan gelak tawa mereka.

"Ran, seandainya ini benar lamaran aku ke kamu. Kamu memangnya mau menerima?" ujar Milan di tengah keriuhan.

"Belum tahu."

"Kalau begitu kamu mantapkan hati dulu. Nanti kalau kamu sudah siap aku ke sini lagi."

"Papa beri restu tapi kalau memang kalian mau menikah, kalau cuma pacaran gak. Lebih baik kalian berteman saja. Benar kan Pak Tio," tutur Pak Hans di sambut dua jempol.

"Sejauh ini sekolah masih menjadi preoritas saya," pungkasku yang sudah terlanjur malu kemudian meminta izin masuk.

***

Obrolan bisnis Pak Hans dan Ayah sepertinya masih lama. Kulihat Milan tampak bosan jadi kuajak ia keluar berkeliling komplek.

Suasana sore di komplek ternyata menyenangkan. Aku jarang keluar rumah bahkan nyaris tidak pernah. Sepulang sekolah hanya diam di rumah saja. Aku tidak suka pergi tanpa tujuan. Aku baru tahu lingkungan tempat tinggalku benar-benar indah.

Berkeliling komplek sambil berboncengan dengan sepeda bukankah ini terasa seperti adegan dalam film romantis. Di sanalah aku sebagi tokoh utama orang lain cukup menjadi pendukung.

"Mil, Ayah sama Pak Hans kan baru ketemu kenapa mereka sudah akrab sampai berbisnis juga?"

"Sebenarnya selama ini aku sama Ayah sering chatting lho. Karena itu aku tahu Ayah punya kebun kopi. Papa mau alih profesi, sekarang mulai mencoba bisnis. Kebetulan bisnis Papa cocok sama pekerjaan Ayah, jadi aku kenalkan saja mereka."

"Jangan bilang kamu sama Ayah mulai ngobrol sejak kamu mengantarku pulang petang itu ya?"

"Memang benar. Aku sudah membuat rencana tinggal bangaimana nanti tuhan akan mengabulkan semua keinginanku atau tidak."

"Selama ini meskipun aku menghindarimu, kamu sebenarnya ada di sisiku. Licik ya kamu, deketin mertua dulu baru anaknya."

"Restu orangtua adalah restu tuhan pernah dengar itu tidak?"

Aku pun membalasnya dengan anggukan sembari tersenyum.

TREAT ME LIKE A QUEEN [ COMPLETED ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang