31. Surat Ke-4

32 4 10
                                    

Selama ini aku tidak pernah menyadari keberadaan Milan yang mengawasiku. Ia ada dekat tapi aku tidak bisa melihatnya karena aku yang terlalu berhati-hati. Aku takut dipermainkan sedangkan aku juga tidak ingin kesepian. Sebab itu aku bisa berteman dengan siapapun membantu apa yang aku bisa lakukan untuk orang-orang di sekitarku. Tapi, aku juga membangun benteng tinggi di sana.

Benteng itu menghalangi pandanganku pada dunia luar. Aku tidak melihat mereka yang tidak pernah menyapaku. Aku bisa mendengar suaranya tetapi aku tidak memperdulikannya.

Setelah membaca surat itu aku merasa bersalah sudah memarahi Milan. Padahal aku sendiri yang tidak mau menyelam lebih dalam untuk memahami dirinya. Aku pun mengirimkan pesan tetapi tidak dibaca bahkan centang satu. Aku tidak sabar lagi aku pun menelepon. Namun, yang kudengar suara lembut perempuan yang mengatakan nomor yang aku tuju sedang di luar jangkauan.

Karena tidak mau berpikir aneh-aneh dan gelisah sendiri aku pun memutuskan bersepeda di sekitaran komplek. Saat itu kulihat Vero keluar dari rumahnya. Ia menghampiriku lalu tersenyum.

"Kalian sudah tidak bertengkar lagi kan?"

"Tidak, tapi ponselnya tidak bisa dihubungin kenapa ya?"

"Kakak tidak tahu ya, Kak Milan kan berangkat ke Prancis tadi malam."

Aku menatap Vero gamang. Aku tidak tahu harus berekasi bagaimana. Aku senang Milan pergi untuk mengapai impiannya tapi disisi lain aku sedih karena ia tidak mengatakan apapun padaku.

"Aku kira kemarin Kak Milan mengantar pulang sekaligus berpamitan."

"Pamitan apanya, dia hanya memberiku beban."

"Beban apa maksud Kakak?"

"Dia memintaku menunggunya tapi pamitan saja tidak. Dia tidak memberikan kejelasan apapun, berapa lama aku harus menunggu. Dia malah meninggalkan banyak surat yang membuatku tidak bisa melupakannya. Dia jahat."

***

Satu hari baru berlalu aku masih menunggu mungkin Milan belum sampai jadi belum bisa memberi kabar. Satu minggu aku masih tetap mempercayainya, mungkin Milan masih sibuk berbenah dan menyesuaikan diri di sana. Lewat satu bulan masih juga tidak ada kabar. Aku mulai gelisah dan menaruh benci pada pemuda itu.

Tumpukan surat darinya tak pernah kubaca lagi. Aku mengesampingkan benda itu. Membiarkannya mengendap di dalam kardus yang kuletakkan di pojok kamar. Setiap kali melihatnya kebencianku semakin bertambah. Rasanya aku bisa membunuh pemuda itu saat kami kembali bertemu.

Masuk kuliah masih lama, aku benar-benar jenuh tidak melakukan apapun selama sebulan ini. Sofia sudah berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes masuk sekolah penerbangan. Delima berangkat ke Batam bekerja. Aku ingin mengajak Vero dan Alan jalan-jalan tapi mereka sedang sibuk mempersiapkan ujian kenaikan kelas.

Kuhela napas berat. Pada akhirnya aku memutuskan membaca surat itu. Tolong garis bawahi karena aku bosan.

Dear Kirana

Apa kamu sedang marah padaku?
Jika kamu masih sudi membaca suratku, kuucapkan terimakasih.

Seperti biasanya aku tidak punya topik lain selain bercerita tentang bagaimana aku mati-matian mengejar Kirana. Itu membosankan tapi aku ingin kamu tahu betapa gilanya aku.

Setelah tahu akan diadakan pentas drama teman-teman membantuku menyusun rencana. Bagaimanapun kamu harus menjadi bagian dari kelompok kami. Itu satu-satunya cara agar kita bisa lebih dekat, namun tampak alami.

Kamu pikir itu mudah ya?
Kamu salah.
Jika saja kamu tahu seberapa banyak orang yang ingin mengajak kamu sekelompok dengan mereka kamu akan kebingungan.

Demi bisa mewujudkan keinginan gilaku itu aku dan teman-teman sampai mencari kesalahan siapa saja yang mau mengajakmu berkelompok. Kami mengancam mereka satu persatu.

Rudi 11-4 merokok di toilet.
Herman 11-2 memanjat pagar saat jam pelajaran.
Anton dan Rizal 11-1 nonton bokep di kelas saat pelajaran. Mereka ini yang paling parah, meskipun mereka satu kelas denganku aku tidak mau memberi ampun.

Setelah memastikan semua sesuai rencana kami beramai-ramai menemuimu. Jujur saat bertabrakan denganmu di bawah anak tangga kala itu jantungku berdegup kencang. Aku nyaris tidak dapat berbicara. Aku hanya bisa memandangmu dengan gugup.

Bahkan saat semua orang meninggalkan kita berdua di parkiran aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Aku melihat pantulan diriku di balik kaca sepion, meyakinkan diri aku sangat pantas mendampingimu. Akhirnya aku bisa memboncengmu di atas motor kesayanganku. Aku sangat senang sehingga tidak ingin waktu cepat berlalu. Karena itu aku sengaja melajukan motor dengan kecepatan 20km/jam. Maaf sudah membuatmu kesal.

Sebelum mengantarmu pulang aku sengaja membuat catatan kecil dimana ada nomor, nama dan alamat rumahku. Aku memang berniat memberikan itu pada Ayahmu. Karena aku tahu tidak mungkin tiba-tiba menghubungimu meskipun aku memiliki nomormu. Tidak ada hal yang bisa kita bicarakan saat itu.

Aku tidak menyangka bisa mengantarmu pulang dan bisa makan bersamamu juga. Meskipun aku khawatir kamu sakit karena hujan tiba-tiba turun di tengah perjalanan disisi lain aku senang. Aku jadi punya alasan mengajakmu mampir untuk sekadar berteduh di rumah makan pinggir jalan. Kamu pasti tidak mau kan mampir kalau tidak karena terpaksa. Hayo, jangan senyum aku tidak lihat tapi masa sih kamu tidak senyum.

Kemudian hari-hari berlalu sesuai keinginan takdir. Aku tidak lagi mencampuri apapun. Namun, saat aku ingin melangkah lebih dekat menuju hatimu. Aku menemukan orang lain di matamu. Aku sedikit kecewa melihatmu memandang Haikal Rawindra begitu dalam. Sedangkan kamu selalu mengacuhkanku, menolak ajakanku yang ingin pulang bersamamu.

Akhirnya kamu membuka hatimu yang terkunci. Tapi, kenapa bukan aku?

Setelah pentas drama berakhir aku tidak punya alasan lagi untuk tetap mendekatimu. Apa lagi saat itu kamu sedang menyukai Haikal. Selama 6 bulan aku hanya mengawasimu dari kejauhan. Kamu tampak lebih terbuka dan sering keluar kelas. Tapi aku tahu kamu melakukan semua itu semata-mata karena ingin melihat Haikal, bukan? Aku bisa melihat itu dan Vero masih menginformasikan segalanya padaku tentangmu.

Your admirer
Milan.

Milan mengakhiri surat begitu saja tanpa menulis penutup. Mungkin ia terluka jika mengingat hari itu. Melihat perjuangannya selama ini aku kembali goyah. Haruskah aku menunggunya?

TREAT ME LIKE A QUEEN [ COMPLETED ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang