1. BAGIAN SATU

93 2 0
                                    

Aku mencintainya, benar-benar mencintainya, sampai setiap serat tubuhku berteriak mendambakannya dan rasanya aku akan mati walaupun secara fisiologi seseorang tidak bisa mati hanya karena terlalu mencintai.

Saat ini matahari sangat terik, keringatku meleleh di bawah sengatannya. Pagi tadi, saat kakakku Alice memberikan daftar belanjaan yang harus kubeli di minimarket, aku langsung menyambarnya tanpa berpikir panjang dan yang kutahu, sekarang aku berdiri di ujung jalan di depan pertokoan dalam perjalanan pulang dengan tangan penuh kantong belanjaan.
Dua puluh meter dari tempatku berdiri memaku, Gabriel bersama seorang pria keluar dari coffee shop mereka terlihat sedang mengobrol sebelum kemudian pria tersebut pergi meninggalkan Gabriel sendiri disana. Hampir mustahil bagiku untuk melanjutkan perjalanan begitu melihat sosoknya. Dia masih sama tampan seperti saat terakhir kali aku melihatnya. Celana jeans berpotongan slim fit dengan t-shirt polo berwarna navy membalut sempurna tubuh tegap itu.
Well, Gabriel tidak pernah salah, pakaian apapun akan selalu cocok, seolah itu dipesan khusus untuknya. Berbeda denganku yang berdiri didepan toko roti berdinding kaca, bisa kulihat dengan jelas pantulan bayanganku yang nampak seperti seorang pembantu. Kardigan lama yang warnanya bukan pink tidak juga abu abu. Aku ingat betul kardigan ini berwarna putih saat pertama kali aku membelinya dan rok denim selututku yang lusuh seolah berasal dari reruntuhan akibat perang dunia kedua. Aku menyalahkan Alice karena tidak segera membuang rok ini saat ada kesempatan. Hingga akhirnya petaka itu datang.

Selama beberapa detik otak dan ototku terasa tidak sinkron. Akal sehatku menyarankan untuk masuk ke toko roti dan bersembunyi disana, kupikir tidak akan ada yang curiga, orang-orang akan mengira aku adalah pembantu yang mendapat tugas belanja oleh majikannya. Kamuflase yang sempurna, bukan? Namun sebaliknya senyuman dan kilauan rambut hitamnya yang diterpa sinar matahari membuat tubuh ini tidak mampu beranjak. Hingga akhirnya semua sudah terlambat.

Gabriel melihat ke arahku, dan melambaikan tangan.
Aku menoleh celingukan. Berharap ada orang lain dibelakang.

"Anna... "

Dia menyebut namaku dan mulai berjalan mendekat. Gabriel adalah seniorku di SMA. Dulu dia adalah ketua student council yang sangat diidolakan para juniornya, pandai dan cakap berbicara di hadapan banyak orang. Sekarang Gabriel sudah menyelesaikan studi magister kenotariatan dan membuka firma hukum yang kantornya hanya berjarak dua blok dari rumahku.
Hampir setiap weekday pagi aku melihatnya berjalan menuju ke kantornya yang terletak di ujung barat Allen street.
Saat dia melintas di depan rumahku, Tidak?! aku tidak menyapanya. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan, dari balik tirai jendela kamarku. Gabriel akan menyapa dengan ramah orang-orang di lingkungan kami dan menunjukkan kepada semua orang betapa sempurnanya dia.
Aku masih tidak percaya bahwa aku akan bertemu dengannya hari ini, dengan wujudku yang.... Demi tuhan, ini benar-benar sebuah mimpi buruk. Seolah aku lebih suka ditelan kantong belanjaanku yang penuh dan rela berdesakan dengan terigu dan makanan kaleng jika aku bisa, daripada harus menghadapi apapun yang terjadi beberapa saat kedepan.

"Sudah lama aku tidak melihatmu, Anna"

Kami berjalan beriringan. Dia menawarkan diri membawakan belanjaanku.

"Yaah, aku sibuk"

Aku terkejut mendengar jawabanku sendiri. Jelas aku tidak pernah sibuk sejak setahun yang lalu.
Aku hampir dua puluh empat tahun, drop out kuliah dengan alasan kehilangan minat melanjutkan studi, yang sejujurnya, kupikir siapa orang yang memiliki masalah kecemasan dan berkuliah di jurusan psikologi, agar saat orang lain bertanya 'menurutmu apakah normal jika aku sering khawatir berlebih' aku bisa menjawab 'oh yaa sepertinya kau memiliki gangguan kecemasan. Aku tahu karena aku juga mengalaminya?' That's perfect.

Sudah hampir setahun belakangan ini kegiatanku sehari-hari hanya membantu mengurus rumah jompo sebagai relawan setelah resign dari pekerjaanku sebelumnya sebagai assisten manager di toko buku selama dua tahun. Aku berhenti bekerja di toko buku karena ingin memulai mengejar impianku menulis novel -novel sungguhan dengan penerbit, kertas hard cover dan lainnya bukan hanya sekedar cerita cinta murahan yang biasa kutulis di platform membaca online- nyatanya mengejar mimpi sebagai novelis tidaklah mudah karena sampai detik ini aku baru menulis dua kata, namaku.

Di sepanjang perjalanan Gabriel menceritakan pertemuannya dengan pria di cofee shop adalah tentang sengketa tanah. Bahwa dia terpaksa pergi ke kantornya pada akhir pekan untuk mengurus segala keperluan kliennya. Dia menggunakan banyak istilah hukum yang tidak kumengerti dan sekali lagi aku hanya menatapnya dengan senyuman tolol, ini seperti kembali ketika kami di sekolah, saat Gabriel jadi tutor matematikaku. Aku hampir tidak pernah memperhatikan pelajaran aljabar darinya karena terlalu sibuk membayangkan

persamaan linear x+y
x = dia dan y = aku
x+y = ekstase

bersama kami akan bahagia selamanya

Sesampainya di persimpangan jalan langkah kami melambat. Kelopak bunga Plumeria berjatuhan di tepi trotoar. Waktu kecil aku dan kakakku Alice sering datang kemari untuk mencari bunga dengan empat kelopak, seseorang mengatakan, siapapun yang menemukannya adalah orang yang beruntung. Well, kami tidak pernah mendapatkannya sekeras apapun kami mencari.
Tanpa diduga tiba-tiba saja mataku tertuju pada satu titik diantara bunga-bunga yang berserakan dan sepertinya aku melihat empat kelopak itu di belakang kaki kiri Gabriel, dengan sigap aku bergerak kesamping untuk mengambilnya dan yah ini benar-benar empat! Aku menghitungnya berulangkali karena tidak percaya.

"Anna, aku ingin kita lebih sering mengobrol"

Gabriel berhenti setelah kami berdua sampai di perempatan jalan. Sepertinya dia akan mengambil jalan ke timur kemanapun tujuannya saat ini, sedangkan aku masih harus lurus satu blok lagi untuk bisa sampai di rumah. Artinya kami akan berpisah di persimpangan ini, persimpangan yang rambu lalu lintasnya sering mati. Alice selalu mengomel tentang pentingnya menjaga infrastruktur saat kami melewatinya.

"Anna, apa yang akan kau lakukan malam ini? Bolehkah aku menjemputmu? Kita bisa pergi kemanapun kau mau"

Leherku tercekat mendengar pernyataanya yang tiba-tiba.

(Apa maksudnya??? apakah dia bercanda??)

Aku menatap mata Gabriel, sepasang mata paling hitam yang pernah kulihat. Bagaimana mungkin seseorang tidak tenggelam kedalam kepekatan segelap malam itu. Matanya bagaikan lubang hitam yang menarikku kedalamnya dan aku rela dilemparkan jauh berjuta-juta tahun cahaya bahkan aku akan bahagia berenang di antariksa pribadiku sampai aku tersadar dan dipaksa kembali menapak planet bumi.
Raut wajah Gabriel melembut dan aku gagal menemukan apapun maksud dibalik kalimat itu.

(Jangan gila Anna!? Gabriel is a nice person, dia hanya bersikap ramah kepadamu bukan berarti dia mencintaimu)

"Tentu saja Gabe, kau boleh datang kapanpun"

(Sambutan yang bagus, sekarang kau terdengar terlalu bersemangat dan sedikit putus asa)

"Eh... maksudku jika kau tidak sibuk"

Aku menambahkan.

"Okay Anna, jam 7??"

Dia mengembalikan semua kantong belanjaan ke tanganku.

"Bye Anna.. sampai ketemu nanti malam"

Aku menatap kosong kearah bayangan Gabriel yang menghilang diantara kerumunan anak-anak remaja yang sedang nongkrong di depan pertokoan. Kubuka genggaman tanganku. Plumeria keberuntunganku.

Is it possible??

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang