3. BAGIAN TIGA

34 1 0
                                    

Ini sudah yang ke limapuluh sembilan kalinya aku menatap ke arah jam dinding yang jarumnya nampak hampir tidak bergerak. Kuakui aku benar-benar gugup, tanganku berkeringat. Aku sudah siap dengan gaun hitam bertaliku dan setelah menyemprotkan parfumku yang sepertinya tinggal dua tetes, aku berdiri didepan cermin mengagumi diri sendiri.

(Oh Anna, seandainya kau lebih pandai, lucu dan tidak canggung kurasa Gabriel bisa benar-benar jatuh cinta)

Bel pintu berbunyi. Pangeranku telah datang. Aku menarik nafas panjang untuk mengurangi perasaan gugup. Saat membuka pintu aku tertegun tidak percaya dengan penglihatanku sendiri, sesuatu yang sangat indah berdiri di sana. Aku mendapati mulutku menganga, kurasa aku menatap Gabriel terlalu lama. Dia bertanya dimana Alice. Aku bersyukur Alice sudah pergi, tidak terbayang dia akan mengatakan apapun yang ada di kepalanya dan membuatku malu setengah mati, sudah cukup karena kecanggungan dan sosial skillku yang buruk, aku tidak butuh orang lain untuk membuatnya lebih parah.

"Alice pergi kerumah bibi sore tadi"

Aku mempersilakannya masuk.
Gabriel sangat tampan dengan kemeja berwarna marun dan celana khaki, rambutnya yang hitam dan wangi -bukan berarti aku pernah mengendusnya, yah walaupun aku memang pernah melakukannya tapi itu dulu sekali saat kami masih sekolah- disisir rapi. Aku hendak masuk untuk mengambil cardigan ketika Gabriel berkata

"Anna, you are lovely"

dan tersenyum menatapku.

"Kau juga sangat tampan, Gabe"

Aku yakin wajahku pasti sangat merah saat ini. Aku menyadari bahwa aku menyebut kata SANGAT TAMPAN saat Gabriel mengatakan lovely

(Demi Tuhan, Anna!? apakah perlu menggunakan kata SANGAT??
Tidakkah itu terdengar sedikit creepy)

Tapi Gabriel memang sangat sangat sangat tampan, bagian terdalam dari diriku tidak mampu memungkirinya.

Kami pergi menggunakan taksi. Gabriel mengatakan dia ingin makan seafood di restoran pinggir pantai. Itu adalah restoran yang sangat romantis aku tahu karena bibi Sarah pernah mengajak aku dan Alice makan di sana. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Jalanan disepanjang garis pantai baru saja diperbaiki aspalnya yang halus membuat para pelancong dan pengunjung lebih mudah mendapatkan akses karena sebelumnya jalan ini hanya berupa bebatuan berpasir yang lumayan terjal. Dengan adanya pembangunan infrastruktur dan cafe serta restoran yang menjamur di pinggir pantai ini, memunculkan getaran perasaan bangga dan bahagia akan semakin bangkitnya kehidupan di kota kami.

Malam Minggu adalah malam yang sibuk dan ramai. Aku menurunkan kaca jendela taksi dan sedikit melongok kan kepala merasakan hembusan angin laut di wajahku sambil mengamati sepasangan kekasih yang mengendarai motornya melaju beriringan dengan taksi kami. Terlihat jelas si gadis duduk dibelakang memeluk erat si pemuda dan si pemuda menunjukan skill bermotornya dengan hanya menggunakan satu tangan karena tangan yang satunya menahan lengan si gadis di dadanya seolah tak ingin melepaskan. Aku melirik Gabriel yang duduk disampingku. Mungkin kami juga terlihat seperti pasangan, jenis pasangan yang sudah bertahun-tahun bersama dan merasakan sedikit kebosanan dalam sebuah hubungan karena sejak kami masuk ke dalam taksi dia terus sibuk memainkan ponselnya. Aku mulai berpikir rencana hari ini adalah kesalahan. Apakah mungkin dia tahu perasaanku padanya, apakah karena aku mengatakan dia sangat tampan? Terkadang aku bisa sangat bodoh.
Aku merasa tidak nyaman dan membetulkan posisi dudukku berkali-kali.
Gabriel menyadari dan menatapku lembut

"Anna, apakah kau baik-baik saja"

Aku tersenyum konyol dan mengatakan aku baik-baik saja

"Anna, kau tahu aku senang kau setuju untuk pergi keluar denganku malam ini"

Kami berdua tersenyum dan kembali menjadi sepasang kekasih lagi, kali ini versi gadis dan pemuda bermotor yang  cintanya menggebu-gebu setidaknya itu yang kurasakan dan benar saja setelah sampai di lokasi tujuan, suasananya yang redup dan lampu-lampu kecil berkerlip sangat mendukung keromantisan yang sudah sejak lama kubayangkan. Kami duduk di bagian ujung dek yang menghadap ke arah laut. Aku lebih banyak diam, Gabriel bercerita bahwa saat ini adalah waktu paling sibuk di kantornya.

"Anna, kudengar kau menjadi relawan di panti Werda?"

Gabriel memesan menu spaghetti carbonara dengan topping udang yang terlihat sangat lezat. Aku memakan pesananku, salad dengan dressing daging kepiting semua menu di sini terlihat sangat menggugah selera.

"Yeah, sudah hampir setahun. Tidak seperti dugaanku, ternyata cukup menyenangkan bekerja di sana. Penghuni panti sangat baik, beberapa juga sangat lucu, mereka benar-benar membuatku terhibur"

Aku menyeruput minumanku jus jeruk dengan hiasan payung kecil. Aku mulai berpikir siapakah orang yang pertama kali memiliki ide untuk meletakan payung-payung kecil di gelas koktail dan kira-kira darimana dia mendapatkan ide yang bisa dibilang sangat handy karena payung ini jelas bisa merubah nilai suatu produk. Jus seharga dua dolar dituang kedalam gelas cantik kemudian ditambahkan payung kecil dan boom terjual dengan harga hampir sepuluh dolar. That's brilliant. Aku berencana untuk meng-Googling nya saat pulang nanti.

"Oh ya Anna, Alice pernah bilang kau menulis novel? Bolehkah aku membaca salah satunya?"

Aku hampir menyemburkan minuman dari mulutku. Apa yang sebenarnya sudah Alice katakan pada Gabriel, apakah dia juga mengatakan bahwa aku penulis paling tidak produktif yang pernah ada. Aku mengaku bahwa aku menulis novel hanya agar orang lain tidak mengira aku pengangguran yang tidak punya kreativitas. Novel yang kutulis hanyalah cerita chicklit, kisah cinta yang memuakkan.

"Eh kau tidak mungkin mau membacanya, ini hanya cerita cinta bodoh yang aku tulis sejak aku masih sekolah"

Fix, sekarang Gabriel sudah tahu siapa aku sebenarnya. Seorang pengangguran yang sama sekali tidak berbakat.

"Tapi kau pasti punya visi kan? Maksudku kau ingin menjadi penulis novel yang seperti apa, Anna?"

Gabriel menatap dengan antusias.
Sulit untuk tidak menghiraukannya.

"Uhh, cerita misteri yang dibumbui dengan komedi. Tapi kurasa aku tidak sekeren itu"

Setelah selesai makan kami duduk di bangku panjang dekat pohon kelapa. Gabriel duduk sangat dekat denganku. Aku bisa mencium aroma parfum musky yang lembut dari tubuhnya. Angin laut yang bertiup sangat kencang membuat rambut Gabriel sedikit berantakan. Dari sedikit cahaya lampu kecil bisa kulihat ketampanannya tidak berkurang.

"Aku punya ide cerita tentang seorang pria yang kuberi nama Randall. Randy seorang pengangguran yang tinggal di rumah neneknya, tapi Randy punya wajah seribu dolar. Dia sangat tampan. Sudah dua puluh orang yang bilang dia mirip dengan aktor Ben Affleck. Selama setahun Randy mempelajari tentang Ben Affleck. Dia menonton semua film dan interviewnya, dia belajar semua gerak-gerik dan caranya berbicara, kemudian dia gunakan keterampilannya untuk menipu banyak orang dengan mengaku sebagai Ben Affleck"

Gabriel menelengkan kepalanya mendengarkan ceritaku dengan seksama.

"Apakah Randy akan tertangkap? Pada akhirnya?"

"Ini akan lucu sekaligus tragis. Kurasa aku tidak bisa memberitahumu, kau harus membeli bukunya"

Aku menggodanya dan Gabriel tertawa. Sejenak kami saling menatap. Gabriel tersenyum dan mengatakan bahwa dia bersyukur kami bisa pergi keluar malam ini.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang