4. BAGIAN EMPAT

31 2 0
                                    

Terdengar lagu Superheroes milik The Script dari pemutar musik saat aku mengerjap-ngerjapkan mata mencoba mengumpulkan niat untuk bangkit dari tempat tidur sebelum Alice masuk dan mengomel. Jika musik sudah dimainkan lewat speaker itu artinya Alice sedang bersih-bersih rumah dan tentu saja dia berharap aku membantunya

"Selamat siang muka bantal? Kukira kau tidak akan bangun sebelum jam dua belas"

Alice menyeringai ketika melihatku berjalan melewatinya, dengan lunglai aku menuju dapur, menuangkan kopi dari teko kecil kedalam cangkir Minion favoritku kemudian menghirup dan menyeruputnya pelan. Pikiranku melayang membayangkan betapa payahnya diriku hingga aku merasa harus memiliki minimal secangkir kecil kopi ini hanya untuk membuatku terjaga dan sedikit bersemangat di pagi hari. Seolah aku tidak mampu mengontrol tubuhku sendiri. Yep, kutemukan satu hal lagi yang menambah panjang daftar apa-apa saja kelemahanku. Tapi kurasa aku bisa mencoret yang satu ini karena sepertinya ini adalah kelemahan hampir semua orang.

Alice sedang mengelap lemari kaca di ruang tengah, lemari yang berisi porselen peninggalan nenek. Pagi ini Alice berpenampilan sangat stylish, dia nampak seperti pelayan dalam serial Downtown Abbey dengan dress bunga dan apron putih serta bandana merah yang imut.

Aku membuka tudung saji dan seketika kehilangan nafsu makan karena hanya menemukan separuh omelet sayur di meja makan. Alice pasti sudah memakan setengahnya, terpaksa pagi ini aku hanya sarapan sereal karena aku tidak mau memakan omelet yang biasanya akan membuat jerawat ku tumbuh. Jangan sampai ada jerawat lagi, tidak untuk saat ini.

Ini adalah hari ke lima setelah dinner semi romantis kami dan Gabriel sudah dua kali mampir ke rumah. Sekali dia mengantarkan banana cake dari ibunya dan aku sudah tidak sungkan membukakan pintu serta bermanis manis dengannya yang sepertinya jika diingat lagi sedikit menggelikan dan yang lainnya adalah sore saat Gabriel pulang kantor, dia dan Alice terlihat ngobrol di depan pagar rumah saat Alice sedang menyiram tanaman. Aku tidak sengaja melihat mereka dari jendela kamarku. Waktu itu aku sedikit berharap dia menanyakan sesuatu tentangku pada Alice yang rupanya tidak terjadi. Alice menggunakan kalimat 'tidak terlintas sedikitpun' ketika aku penasaran dan bertanya apakah mereka membicarakanku.

Setelah membantu mencuci piring dan menyiram tanaman aku bersiap-siap untuk berangkat ke panti. Hari Jumat adalah hari yang sibuk, akan ada dokter untuk melakukan pemeriksaan rutin dan aku harus disana untuk membantu melakukan apapun yang dibutuhkan nanti.

Matahari belum terik, jam menunjukkan angka delapan lewat lima belas menit. Masih ada setengah jam waktuku untuk berendam dan mencukur bulu kakiku, bukan berarti akan ada yang melihatnya, hanya saja aku baru membeli celana dengan bahan kain musclin yang halus. Aku ingin merasakan kelembutannya disekitar betisku.

Aku berangkat menuju panti dengan terburu-buru. Sesampainya di sana aku mendapati pintu depan panti terbuka lebar, pintu kayu besar berwarna putih dengan ukiran-ukiran khas bangunan kuno. Aku menduga mungkin saja mobil pengiriman baru saja membongkar barang dan salah satu suster belum menutup pintunya. Aku berlari di lorong kecil yang mengarah ke dapur, sisi kanan lorong adalah dinding berpanel yang dicat putih dengan lampu gantung berukuran sedang berwarna hitam sedangkan jendela kaca besar dengan kusen yang berwarna senada berada di sisi kirinya. Di ujung lorong ada dapur yang cukup luas dengan kitchen set bernuansa marun dan meja makan kecil dengan empat kursi yang berwarna sama. Di sana tampak suster Rita berdiri di depan kompor dengan spatula di tangan kanannya. Wanita berusia lima puluh tahun itu membuat seluruh ruangan beraroma sedap masakannya. Karena terlalu lama menikmati me time di kamar mandi aku terlambat sampai disini. Dia menyadari kedatanganku dan tersenyum ramah

"Maaf suster, aku terlambat"

Aku setengah menjatuhkan tasku di kursi putih diseberang meja makan dan berdiri disana

"It's okay, Anna. Kemarilah dear maukah kau mencicipi masakanku?"

Terpancar ketulusan dari sorot matanya. Dia mengambil sendok dan menyuapiku. Suster Rita kelihatan lebih tua dari usianya mungkin karena beban kehidupan yang berat. Dilihat dari tempat dia bekerja yang sehari-harinya berkutat dengan segudang pekerjaan tentang melayani dan membantu orang-orang tua disini. Pantas saja kerutan menghiasi ujung mata dan dahinya yang putih dan lebar. Mungkin juga karena dia merindukan anaknya. Suami suster Rita meninggal dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu. Satu satunya anak mereka pergi ke ibukota untuk bekerja sebagai buruh pabrik.
Tinggallah dia disini dengan tugas suci merawat dan membantu orang-orang jompo.

Di panti ada sekitar tiga puluh manula pria dan wanita, enam orang suster dan seorang tukang kebun yang merangkap sebagai supir. Sebuah gedung tua yang tidak begitu luas tapi cukup menampung segala kegembiraan sekaligus kesedihan yang dirasakan penghuninya. Sebuah fasilitas yang sangat lengkap selain ada kamar-kamar yang nyaman, taman bunga, lapangan olahraga dan kolam renang berukuran sedang, di sini tersedia kasih sayang dan ketulusan dari para perawat dan penghuni panti.

Siang ini sangat sibuk. Aku membantu suster Rita menjemur selimut yang sudah dicuci, menyiapkan makan siang kemudian makan siang bersama para perawat.

Setelah kedatangan tenaga medis yang memeriksa tekanan darah dan kesehatan para manula siang tadi. Kami bersantai di ruang televisi sampai waktu ketika suster Anita datang

"Nona Farsi, ada tamu untukmu"

Suster Anita tersenyum penuh arti dengan pipi memerah. Dibelakangnya tampak berdiri seorang pria

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang