2. BAGIAN DUA

45 1 0
                                    

Sesampainya di rumah aku menumpahkan semua isi kantong belanjaan di meja makan.

"Apakah kau mendapatkan pesananku?"

Alice berteriak dari dapur. Sedari pagi dia sibuk membuat cupcake. Dia mengatakan jika itu resep terbaru dan yakin hasilnya tidak akan seperti sebelumnya.

Percaya atau tidak minggu lalu Alice juga membuat cupcake. Saking kerasnya cupcake itu, aku bersumpah bahwa pejuang Hamas di Palestina pasti menyukainya, mereka bisa melemparkan cupcake itu kepada musuh. Jika mengenai salah seorang tentara Israel mereka bisa terluka parah.
I called it the deadly cupcake.
Yah,,, semoga kali ini berbeda.

Aku dan Alice duduk di meja makan.
Di meja tersaji sepiring cupcake berwarna pink yang terlihat lembut dan manis. Mungkin saja karena suasana hatiku sedang baik cupcake ini terlihat sangat menggoda.

"Anna, makan kue mu!!? Kau tahu, kau sangat aneh. Kulihat dari tadi kau hanya melamun dan cengar-cengir"

Alice berbicara dengan mulut penuh cupcake.

"Dan apa itu??"

Dia menunjuk bunga di tanganku. Bunga unik. My lucky charm.

"Alice, apakah kau ingat waktu kecil kita sering bermain di pinggir jalan dekat persimpangan, mencari bunga Plumeria yang hanya punya empat kelopak? I've found it"

Ada sekelebat kebanggaan muncul dalam diriku ketika mengatakannya. Sangat ironis memang, karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha terlihat sama hanya agar tampak normal, mereka beramai-ramai mengikuti trend fashion yang sama, mendownload sosial media yang sama dan segala kompleksitas tentang perasaan 'fear of missing out' karena sedikit saja ada perbedaan manusia akan merasa takut, takut diolok dan dilecehkan
(manusia disini = aku) Kuharap aku bisa seperti Plumeria ini, walaupun aneh seseorang akan tetap merasa beruntung memiliku.

"Oh ya Alice, jam tujuh Gabriel akan datang menjemputku. Dia bilang dia mau mengajakku keluar untuk ngobrol"

Cupcake ini memang enak. Aku hampir tidak percaya.

Alice bertanya siapa yang kumaksud, kurasa dia hanya terkejut tentang gagasan bahwa akan ada seseorang yang datang mengajakku kencan. Aku akan menganggapnya kencan karena ini adalah malam minggu. Tapi aku tidak akan mengijinkan Alice menggunakan istilah yang sama. Aku menjelaskan ini adalah Gabriel Alvaro the notary

Alice mengernyit

"Aku tidak tahu kau kenal dekat dengannya? Aku hampir tak pernah melihatmu bicara dengannya, bukankah kau sering bersembunyi saat dia datang membawa makanan dari Ny. Alvaro"

Dilingkungan kami semua orang saling mengenal.
Tn. Alvaro-ayah Gabriel adalah pensiunan tentara. Ibunya wanita yang manis dan sangat baik, terutama kepadaku dan Alice. Mungkin karena kami sudah yatim piatu sejak aku kelas delapan, kami tinggal bersama bibi sampai lulus SMA. Setahun kemudian bibi menikah dan pindah ke rumah yang lebih besar bersama suaminya. Sekarang hanya ada aku dan Alice saling menjaga satu sama lain. Ny.Alvaro sering mengirim kue dan makanan untuk kami.

"Hei apa maksudmu? Aku tidak pernah bersembunyi, eh... kau selalu berbicara sembarangan-

Well, aku memang seringkali enggan membukakan pintu jika kutahu Gabriel yang datang. Bukan karena aku tidak mau bertemu dengannya. Dia hanya terlalu memukau dan aku cenderung mengatakan sesuatu yang bodoh saat bicara dengannya.

-tentu saja aku (mencintai) mengenalnya Alice, dia adalah tutor matematikaku saat high school, ingat"

Alice masih asyik menikmati cupcake. Dia terlihat puas dengan hasil cupcake buatannya.

"Anna, kupikir kita bisa menjual cupcake ini?? Bagaimana menurutmu?? Kita pasti akan menghasilkan banyak uang"

Aku hanya menjawab tanpa antusiasme. Alice adalah orang paling positif yang aku kenal. Dia punya banyak mimpi dan tidak pernah sungkan untuk mengatakannya kepada orang lain. Berbeda denganku, aku individu yang pesimis, kurang bergaul, suka menyendiri dan setelah memahami kepribadianku yang kurang menarik, aku malah ingin menjadi penulis. Semua orang agaknya setuju 'writing is kinda lonely'

"Jadi sekarang kalian berkencan?
Um.. kau dan si notaris??"

Aku tersedak

"No!!?? Kami hanya hangout Alice"

Alice seorang yang impulsif. Aku selalu was-was saat bersamanya. Aku takut dia akan mengatakan sesuatu yang membuat orang lain tersinggung atau malu. Kekhawatiran yang beralasan karena sejujurnya aku benci konfrontasi. Jangan sampai Alice mengatakan sesuatu saat Gabriel datang nanti. Aku tidak ingin Gabriel berpikir bahwa apa yang Alice katakan adalah bagian dari diriku yang terlalu berharap. Well, aku sadar siapa diriku. Aku tidak mampu menginginkan lebih daripada malam ini indah dan tidak akan ada kejadian memalukan seperti tadi siang saat dia melihat diriku versi pembantu.

***

Setelah mandi dan mencuci rambut aku membongkar lemari kabinetku, mencoba mencari gaun terbaik yang mungkin bisa jadi penyelamat. Mataku tertuju pada gaun hitam bertali yang sudah cukup lama berada disana. Kurasa aku perlu membeli gaun lagi karena aku juga mengenakan gaun ini pada pesta hari kemerdekaan tahun lalu. Aku mencoba mengingat saldo terakhir rekeningku, satu hal yang tidak kupikirkan saat mendaftarkan diri menjadi relawan di panti jompo adalah bahwa pekerjaan ini tidak dibayar.

(what the hell, Anna!? kau tidak bisa membeli sebuah gaun untuk bertemu seseorang yang hanya ingin mengajakmu ngobrol)

Yaah ini bahkan bukan sebuah kencan. Aku mengambil gaun hitam bertaliku dan mencobanya.
Well, yang aku tahu Gabriel belum pernah melihatku memakainya.

"Someone has a date night..!!"

Alice berdiri di depan pintu kamarku. Dia terlihat menenteng Tupperware ditangan kiri dan tas rajut andalannya ditangan yang lainnya.

"Sudah kubilang ini bukan kencan!!!"

Aku merengut mendengar Alice yang terus menggodaku.

"It's okay Anna, kupikir Gabriel is fine. By the way aku akan pergi kerumah bibi Sarah, aku ingin dia mencicipi cupcake buatanku. Jangan lupa mengunci pintu saat kau pergi okay? bye"

Alice berlalu.

Gabriel is fine?? Apa maksudnya?? Gabriel isn't fine. He is perfect.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang