6. BAGIAN ENAM

29 1 0
                                    

Aku membenamkan diri ke dalam tumpukan selimut dan berteriak sekencang-kencangnya. Rasa malu seolah menelanku hidup-hidup. Gabriel berpamitan segera setelah hujan reda dan aku tidak mengatakan sepatah kata selain terimakasih. Aku bahkan merasa semakin bodoh karena sejujurnya untuk apa aku berterimakasih. Ketakutan juga menjalar di pikiranku saat aku mulai membayangkan beginilah akhir kisahku bersama Gabriel karena kemungkinan dia tidak akan sudi menemuiku lagi. Aku mencoba mengingat runtunan peristiwa saat Gabriel menjemputku di panti, mengantarkanku pulang, merangkul dengan mesra ditengah hujan, mengatakan hal manis tentangku dan menciumku. Sedangkan aku sudah mengacau sedari pagi, di awal pagi tadi aku terlambat berangkat ke panti karena terlalu lama mandi sampai tidak sempat menata rambutku dan membuatnya berantakan, aku bahkan tidak mengenakan mantel atau setidaknya pakaian yang pantas hingga saat hujan turun aku tidak akan terlihat seperti remaja yang mencari uang tambahan dengan berkedok jasa cuci mobil yang sebenarnya hanyalah ajang mempertontonkan tubuh-tubuh setengah telanjang. Aku tidak menanggapi saat Gabriel mengatakan bahwa dia terus memikirkanku dan aku memblokade tubuhku saat dia menciumku.

I deserve this
I'll be single forever and die alone.

Tunggu dulu, Gabriel mengatakan bahwa dia tidak bisa berhenti memikirkanku? Tidak mungkin karena aku terlalu charming kan?? Oh Tuhan apakah dia memiliki sesuatu untuk dikatakan dan aku terlalu ceroboh hingga tidak memperhatikannya dan aku bahkan menganggap hal itu sangat manis?

Aku berteriak lebih kencang dari sebelumnya saking kencangnya aku tidak mendengar seseorang masuk.

"Anna, kau baik-baik saja?"

Alice berdiri diambang pintu, menatapku penuh kekhawatiran. Rupanya Borris mengijinkannya pulang lebih awal dan dosennya membatalkan kelas.

"Alice apakah kau mau terus merawatku sampai kita tua dan bolehkah aku tinggal bersamamu bahkan setelah kau dan Borris menikah?"

Aku memeluknya. Hanya dia yang kumiliki saat ini.

"Apa yang terjadi, Anna?"

Aku terlalu malu untuk menceritakan kejadian hari ini pada Alice jadi aku hanya mengatakan bahwa Gabriel menciumku dan aku membeku seperti orang tolol. Alice menahan tawa dan memelukku. Dia paham betul aku membutuhkan pelukan untuk menenangkan jiwaku yang terguncang.

Aku menyadari seutuhnya keanehan dalam diriku, ketidaksinkronan antara tubuh, pikiran dan hatiku telah membuktikannya. Ini tidak hanya terjadi sekali ini saja. Serius,!? aku seharusnya tinggal bersama X-Men karena aku sama anehnya dengan mereka.

Alice mengatakan bahwa sangat wajar jika seseorang dalam kondisi shock tidak dapat berpikir atau bertindak seperti seharusnya, aku ingin mempercayainya tapi sebagian diriku lebih percaya bahwa aku telah melakukan kebodohan parah yang tidak bisa diampuni. Aku bersumpah jika Gabriel mau memaafkanku aku akan rela melakukan apapun untuknya -bukan apapun, hanya hal lain seperti ciuman dan yang lainnya, itupun kalau dia mau-

Hari berlalu tanpa sekalipun melupakan kejadian Jumat sore itu. Dilema antara menelpon Gabriel dan mencoba menjelaskan perasaanku ataukah lebih baik aku ke kantornya untuk bicara langsung dengannya.

Aku sudah berdiri satu jam didepan wastafel dan hanya berhasil mencuci dua cangkir. Mungkin aku harus bertanya pendapat Alice tentang situasiku ini. Yaah sebegitu putus asanya sampai-sampai aku akan meminta saran dari orang yang menganggap bahwa memberikan sweater couple kepada pasangan adalah hal yang romantis. Aku sudah mencoba menjelaskan pada Alice bahwa seragam adalah simbol pengekangan. Tapi dia bilang itu bukan seragam jika sweater milik Borris bergambar Mickey mouse dan miliknya bergambar Minnie mouse walaupun keduanya memiliki warna dan merek yang sama. Tapi Alice adalah satu-satunya orang yang kukenal dekat memiliki hubungan serius dan minim konflik selama bertahun-tahun, walaupun mungkin sebagian besar hanya karena Borris merasa terintimidasi dengan kepribadian Alice yang dominan dan berterus terang.

Alice sedang duduk di sofa menonton acara master chef di TV saat aku mulai bicara

"Alice, apakah menurutmu aku harus menelpon Gabriel? Um Kau tahu kan, ini tentang kejadian Jumat kemarin? What do you think I should do?"

Ekspresi wajahnya seperti terkejut, kemudian dia membalikan tubuhnya menghadapku

"Maksudmu kau belum bicara dengannya sejak saat itu? Sama sekali...!?

Dia menghela nafas dengan frustasi kemudian meraup keripik kentang dari dalam toples dan berbicara kepadaku dengan nada putus asa seperti saat dia bicara pada microwave kami yang rusak dan tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya

...Demi Tuhan, Anna. Aku tidak tahu apa yang salah dengan dirimu? mengapa hal mudah seperti bertanya 'apa maksudmu menciumku' menjadi rumit dan sangat sulit bagimu. Kau bisa mengatakannya di telpon atau menemuinya langsung. Ini sudah hampir sepekan, bukankah jika lebih lama kalian tidak membicarakannya akan membuat dia berpikir kalau kau marah padanya"

Aku tercekat tubuhku mengkerut. Fakta tentang kemungkinan Gabriel akan salah paham dan beranggapan bahwa aku tersinggung dan marah karena dia menciumku sangat valid. Yaah dia pasti berpikir demikian karena aku bahkan tidak mengirimkan pesan padanya atau sekedar menanyakan kabar. Aku merasa seperti mengecewakan diri sendiri. Ini sudah menjadi kebiasaanku. Aku terlalu banyak memikirkan hal yang tidak penting hingga melupakan hal yang paling penting.
Tidak berselang lama semangat dan energi positif dalam tubuhku mulai meningkat, aku merasa seperti Cameron Diaz yang siap berlari ditengah jalanan bersalju setelah menyadari kesalahannya sudah meninggalkan Jude Law dalam film The Holiday.
Aku melompat dari sofa dan bersiap-siap pergi menemui Gabriel.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang