5. BAGIAN LIMA

28 1 0
                                    

Hujan turun saat aku dan Gabriel berjalan pulang dari panti, air hujan membasahi blouseku dan karena warnanya putih membuat Gabriel bisa dengan mudah melihat apa yang ada dibaliknya walaupun aku percaya dia bukanlah pria seperti itu dan kalaupun dia melihatnya aku tidak yakin dengan apa yang bisa dilihat, tidak ada yang bisa dibanggakan.

Kenyataan bahwa sekarang masih bulan September dan pagi ini matahari masih bersinar membuatku tidak berpikir untuk repot-repot memakai mantel padahal beberapa hari yang lalu juga sudah mulai turun hujan.

Sebelumnya saat di panti, ketika suster Anita mengatakan ada tamu untukku. Aku begitu terkejut saat kutahu Gabriel yang datang. Kemudian kami duduk di sofa dekat ruang tivi. Aku bisa melihat para suster dan manula itu diam-diam memperhatikan kami.

Gabriel mengatakan kalau dia tidak bisa menghubungiku, kemudian dia menelpon Alice yang mengatakan aku sedang berada di panti karena ada pemeriksaan medis rutin dari rumah sakit. Ponselku mati dan tentu saja karena terburu-buru saat berangkat aku lupa membawa alat pengisi daya

"..Tidak ada sesuatu yang sangat mendesak Anna, aku hanya merasa ingin bertemu denganmu"

Kami pamit pulang setelah sekitar sepuluh menit disana. Gabriel berseloroh apakah ada diantara kakek tua itu yang akan cemburu melihatnya menjemputku. Dari tatapan orang-orang disana, aku yakin kunjungan berikutnya akan menjadi sesi wawancara yang panjang. Suster-suster itu sangat menyukai drama. Jika menggunakan istilah yang tepat mereka ini tipikal orang yang sangat KEPO. Sungguh melelahkan.

Setelah seharian berkutat dengan kesibukan di panti dan membantu proses pemeriksaan rutin para manula, kedatangan Gabriel yang secara tiba-tiba bisa dikatakan merupakan mood booster untukku.

Hujan semakin deras. Kami berteduh di depan toko barang antik milik kenalanku, pemilik toko keluar untuk menyapa dan meminjamkan payung. Rumahku hanya kurang dari tiga ratus meter lagi, dengan payung ini kami tidak harus berada disini lebih lama untuk menunggu hujan reda.
Payung dari pemilik toko barang antik sangat modern aku hampir mengira dia akan meminjamkan sejenis payung bergagang kayu dengan kanopi berbahan kanvas bermotif lukisan dari Cina, bukannya payung stainless steel besar berwarna silver dengan gambar tokoh Captain America.

Kami berjalan beriringan, Gabriel memegang payung ditangan kiri dan tangan satunya merangkul bahuku. Jantungku berdegup kencang, ini seperti adegan romantis yang sering terjadi di dalam film. Aku berani bersumpah bahwa aku tidak akan mungkin melupakan momen ini seumur hidupku.

Sesampainya di rumah aku mempersilakan Gabriel masuk. Tidak ada orang di rumah karena Alice sudah pergi, dia bekerja sebagai kasir di cafe milik Borris, pria yang sudah tiga tahun dikencaninya dan malamnya dia akan langsung berangkat ke kampusnya. Alice mengambil pendidikan postgraduate untuk profesional degree demi mengejar mimpinya sebagai guru.
Gabriel bertanya tentang Alice, tentang keinginan Alice menjadi guru. Senyumnya mengembang ketika mengatakannya, kukira dia sedang teringat Alice dan segala kelakuan anehnya. Alice punya pendirian yang kuat artinya dia sulit untuk tidak mengontrol, suka mengoreksi orang lain dan memiliki tingkat kesabaran yang rendah, benar-benar kualifikasi seorang guru. Aku mengatakan pada Gabriel bahwa Alice sangat bertekad, jika dia menginginkan sesuatu akan sulit membuatnya menyerah.

"Duduklah dulu Gabe, aku akan mengambilkan handuk untukmu"

Gabriel terlihat enggan untuk duduk di sofa ruang tamu kemudian dia memilih duduk di kursi kayu di seberang ruangan.
Setelah aku mengganti baju dan mengambil handuk, kami berdiri berhadapan mengeringkan rambut masing-masing.
Gabriel bertanya

"Anna, kalau aku tidak salah dengar tadi kau mengatakan Alice mengencani pemilik restoran tempatnya bekerja?"

"Yaah Borris, mereka sudah lama bersama"

Aku menjelaskan padanya tentang rutinitas kami setiap harinya. Dia terkejut mendengar nama Borris

"Borris? Russian? Aku mengenalnya, aku membantunya mengurus surat kepemilikan tanah"

Aku mengoreksi bahwa Borris hanya separuh Rusia. Yaah dia blasteran dan sudah sepuluh tahun tinggal disini tapi dia bahkan masih memanggilku "Anno" aku menirukan gaya bicara Borris dan Gabriel tertawa geli.

Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda, suara angin semakin bergemuruh. Aku menyuguhkan secangkir coklat panas dengan toping marshmallow.

Suasana di rumah sangat sepi, hanya terdengar suara air hujan yang menampar-nampar jendela. Aku sedikit menggigil dan teringat termostat di rumah ini rusak, ini menjelaskan udara dingin yang memenuhi ruangan. Aku mengutuk dalam hati karena kemarin Alice sudah menyuruhku menelpon teknisi untuk memperbaikinya tapi aku tidak melakukannya. Kami duduk berdampingan di sofa, Gabriel menggeser posisi duduknya menghadapku. Aku menggosok-gosokkan telapak tanganku diatas lutut untuk mengurangi hawa dingin

"Anna, aku minta maaf karena tidak menelponmu setelah kita keluar malam Minggu kemarin. Pekerjaan di kantor sangat menyita waktu, tapi kau harus tahu sejak malam itu aku tidak pernah berhenti memikirkanmu"

Aku kembali terhanyut oleh tatapan matanya yang dalam hingga aku tidak menyadari kami sudah berpegangan tangan, dan selama sepersekian detik aku merasa seperti terbang di alam mimpi ketika dia meraih lenganku dan meletakkan tanganku di dadanya, membuat jarak diantara kami semakin dekat, kemudian dengan gerakan yang cepat dia mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh lembut bibirku, aku memejamkan mata tidak yakin apakah ini nyata. Aku bukan orang suci. Aku sudah pernah mencium beberapa pria sebelumnya tapi ciuman Gabriel terasa berbeda lembut dan hangat, manis dan memabukkan secara bersamaan. Masalah muncul saat dia melepaskan ciumannya. Aku sadar ada yang salah dengan diriku. Apakah aku bodoh? Bukankah seharusnya aku merangkul atau memeluknya? Bukankah pria menginginkan itu? Aku pasti sangat kaku, tanpa sadar aku menutup diri dan memblokade tubuhku, aku tidak membiarkan dia mendekapku. Kilasan bayangan masa lalu muncul saat Josh Rickman mencampakkanku. Dia mengeluhkan bahwa aku adalah gadis dingin yang menutup diri karena aku tidak membiarkannya menyentuhku. Kupikir aku hanya tidak begitu menyukainya. Tapi ini Gabriel. Dia tidak sama seperti Josh. Aku mencintainya. Tapi mengapa tubuhku masih melakukan hal yang sama? Mungkin Josh benar aku adalah gadis yang dingin dan tidak berperasaan.

Aku membeku menatap dinding di hadapanku, dua ekor cicak berkejaran seolah mengejekku. Kami duduk bersebelahan dalam kecanggungan yang sunyi dan terasa sangat lama. saat kemudian aku mencoba memecah keheningan

"Silahkan diminum coklatnya sebelum dingin"

Ini adalah saat paling memalukan dari banyak hal paling memalukan yang terjadi dalam kehidupanku sulit menentukan ini nomor keberapa.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang