13. BAGIAN TIGA BELAS

29 1 0
                                    

Aku berjalan pelan -menahan rasa nyeri di lututku- menuju pintu depan dan membukanya perlahan. Gabriel berdiri di ambang pintu dengan sebuket bunga di tangan kanannya dan tangan kirinya menenteng jas. Dia sangat tampan dengan kemeja berwarna putih yang lengannya di gulung sampai ke siku dan celana hitamnya yang entah bagaimana terlihat begitu pas membalut kakinya yang kokoh. Gabriel memberikan pelukan hangat dan mengecup bibirku sekilas kemudian menghambur masuk kedalam rumah. Aku berpikir keras berusaha memahami 'apa yang baru saja terjadi' aku terus mencoba mengaktifkan sel-sel otakku yang mungkin saja mengalami kerusakan akibat semua obat yang aku minum sebelumnya. Mengapa semua orang bersikap sangat berlebihan terhadap lukaku karena bahkan dokter meresepkan banyak sekali antibiotik dan pain killer. Demi Tuhan ini hanya luka kecil, walaupun kuakui pain killer itu sangat membantuku. Aku hanya sedikit khawatir apakah karena mengkonsumsi obat itu, sekarang aku jadi berhalusinasi tentang Gabriel

"....Anna... Anna... aku bertanya dimana Alice??"

Aku tidak berhalusinasi. Ini nyata dia ada disini aku bisa mencium aroma parfumnya yang lembut. Aku menjilat bibirku, bekas kecupannya masih terasa sangat manis. Aku mengatakan pada Gabriel Alice pergi berkerja seperti yang seharusnya dia lakukan karena aku baik-baik saja.

Gabriel menunjukkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat dia menaikkan kedua alisnya

"Oh tidak?! Itu artinya kau sendirian Anna?"

Dia meletakkan kedua tangannya di pundakku dan tersenyum. Senyuman yang selalu aku rindukan.

"Sekarang aku yang akan merawatmu okay"

Aku menyadari satu hal, hanya ada satu alasan paling masuk akal yang mendasari perubahan sikap Gabriel padaku saat ini, ini semua karena David menceritakan pada Gabriel tentang kejadian di rumah sakit tadi malam. Yah David pasti sudah mengatakan padanya bahwa aku mengakui perasaan cintaku pada Gabriel dihadapannya dan dihadapan dokter yang menjahit lukaku. Ini sangat memalukan bahkan lebih buruk daripada jika aku harus mengatakannya langsung di hadapan Gabriel karena kau tahu apa? Aku tidak bisa lagi berpura-pura seolah aku tidak mencintainya karena dia jelas tahu kalau aku mencintainya. Aku juga akan merasa sangat canggung berada disekitarnya karena kita belum pernah membahas hal ini sebelumnya.
Yaah ini kacau.

"Apakah kau sudah makan Anna?"

Dia memperhatikan handuk di pundakku

"Oh sepertinya kau mau mandi? Biarkan aku membantumu okay"

Gabriel menyerahkan buket bunga ke tanganku dan mengatakan

"Sebaiknya kau menaruhnya di air aku akan menyalakan keran air panas di bathtub...."

Kemudian dia meletakkan jaketnya di sandaran sofa dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah

"By the way where's the bathroom Anna"

Sambil berjalan masuk ke arah kamarku dan beberapa saat berikutnya berteriak dari dalam kamar

"I've found the bathroom"

Aku berjalan ke dapur mengambil pitcher lama milik nenek. Benda dari keramik berwarna putih dengan emboss bermotif buah-buahan itu masih terawat dengan baik. Aku mengisinya dengan air dan memasukan buket bunga pemberian Gabriel kedalamnya.
Ini gila. Apa maksudnya saat dia mengatakan kalau dia akan membantuku mandi? Jantungku berdegup kencang aku merasa ngeri, gugup sekaligus tergoda. Gabriel keluar dari kamarku

"Anna airnya sudah siap, mandilah aku akan membuatkan teh untukmu"

Aku berjalan menuju kamar mandi dengan perasaan malu. Bagaimana bisa aku berpikir tentang hal kotor seperti kemungkinan yang akan terjadi pada Gabriel dan aku di bathtub sedangkan yang dia lakukan hanyalah memberikan perhatian dan kasih sayang untukku. Aku tertawa geli dalam hati.

(You're stupid dirty mind girl, Anna)

Aku selesai membilas tubuhku dan baru ingat kalau aku meninggalkan handukku di meja dapur saat sedang menaruh bunga di pitcher. Kebiasaan yang sering aku lakukan, biasanya aku akan berteriak dari kamar mandi dan Alice akan mengambilkannya untukku tapi aku tidak mungkin melakukan itu pada Gabriel. Jadi aku membuka pelan pintu kamar mandi dan sedikit melongokkan kepalaku keluar. Aku terkejut bukan main melihat Gabriel berdiri di depan pintu kamar mandi. Tangannya menenteng handukku.

"Kau meninggalkan handukmu di dapur Anna"

Aku hanya meringis kemudian mengambil handuk dari tangannya dengan menjulurkan tanganku tanpa membuka pintu kamar mandi lebih lebar. Aku melilitkannya di tubuhku seperti biasanya kemudian melangkah keluar dari kamar mandi. Gabriel masih berdiri disana menatapku dengan raut wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kami saling menatap satu sama lain dengan mulut terkunci selama beberapa detik sampai muncul perasaan hangat dari dalam hatiku. Aku ingin dia melakukannya, entah apapun itu, memeluk, menyentuh atau menciumku. Aku menelan ludah tenggorokanku mengering, aku begitu mendamba.
Seolah bisa membaca pikiranku. Gabriel melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, tangannya meraup tengkukku dan menciumku. Ciumannya basah dan mendesak. Aku meletakkan tanganku di dadanya. Lidahnya menjilat bibir bawahku, aku mengerang dan sedikit membuka mulutku untuk memembalas ciumannya. Kami berciuman sangat lama, bibirnya yang lembut dan hangat mencecap rasaku. Aku terhanyut dalam permainan panas ini. Tangannya meraih punggungku yang terbuka dan mendekapku untuk memperdalam ciumannya. Aku merangkulkan lenganku di lehernya. Kami berciuman dan berpelukan erat, ini terlalu indah. Sedetik dia melepaskan ciumannya membiarkanku menghirup udara sebelum mendaratkan kecupan bertubi-tubi di sekitar leher dan bahuku yang tidak tertutup handuk. Dia menggigit rahangku pelan aku memejamkan mata menikmatinya. Tangannya meremas pahaku yang terbuka, tanpa sadar aku mengeluarkan suara lenguhan rendah. Tak pernah sekalipun aku menyangka Gabriel bisa bersikap nakal dan sangat panas seperti ini. Dia terus menghimpit dan mendorongku ke arah ranjang, aku setengah terduduk ditepi ranjang. Dia berdiri di hadapanku melepaskan kancing kemejanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku

"Anna kau tahu, kau sangat harum. Aku tidak sanggup menahannya"

Aku tersenyum mendengarnya

"Benarkah? Harum seperti apa?"

Semua kancing kemejanya sudah terbuka dia melepaskan kemejanya dan bersiap menciumku lagi

"Like heaven"

Kami bergelut di ranjang, berpelukan dan saling menghujani ciuman panas tanpa henti serta sentuhan yang membuat putus asa. Akal sehatku mengatakan seharusnya kami berhenti sebelum ini menjadi terlalu jauh tapi aku tidak ingin keindahan ini segera berakhir. Tapi kami harus. Jadi kukatakan padanya

"Gabe, I think we should stop"

Dia masih menghisap, menjilat dan merasakan kulit di sekitar leherku, aku memejamkan mata menikmati keindahan ini

"Gabe..."

"What"

Masih melanjutkan kegiatannya

"We should stop"

"No, we don't"

Sepertinya dia tidak perduli

"Yeah, we do"

Dia memposisikan kepalanya sedikit menjauh dan memperhatikan wajahku seolah tidak yakin apakah aku benar-benar menginginkannya untuk berhenti. Aku mengecup bibirnya sekali lagi dan mengangguk pelan tanda aku bermaksud serius dengan ucapanku

"Okay, fine"

Gabriel bangkit dari tempat tidur dan mengambil kemejanya yang tadi dia lemparkan ke lantai kemudian memakainya dengan tergesa-gesa. Dia menciumku sekali lagi dan mengatakan

"Aku akan membiarkanmu berpakaian, dan aku akan mengambil teh yang tadi kubuat atau mungkin aku akan membuatnya lagi karena yang itu pasti sudah dingin"

Dia keluar dari kamar menuju ke dapur. Aku masih berada di posisi yang sama berbaring di tempat tidur dengan hanya mengenakan handuk dan senyuman yang merekah sempurna karena membayangkan semua perasaan cinta kami yang bersemi dan bermekaran.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang