Prolog

18.7K 783 13
                                    

Aku tidak bisa jatuh cinta, dan lupa bagaimana ciri-cirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak bisa jatuh cinta, dan lupa bagaimana ciri-cirinya. Kupikir yang namanya hati telah mati itu benar-benar ada, karena aku merasa hatiku tak merasakan apa pun semenjak kegagalan kisah cinta masa lalu yang membawa luka serta trauma ke dalam hidupku. Ingatan-ingatan buruk itu terus-menerus membayangiku, dan aku ketakutan untuk merasakannya lagi.

Ya, trauma memang bukan alasan mengapa aku menjadi pengecut bodoh yang takut jatuh cinta kepada seseorang. Semua itu hanya keegoisanku, dan kemunafikanku yang tidak bisa menerima kenyataan mengenai kemana alur hidup ini membawaku melayang.

Aileen: Lun, lu udah nyampe kelas belom? Sial banget gue ketemu Pak Irwan di depan kantor, terus dia nyuruh gue ngambil buku di perpus. Bantuin gue dong, gue di depan perpus nih lagi nungguin Ibu Dian bukain ruangan perpus.

Aku, Kaluna Utari mendecak kesal ketika membaca pesan masuk dari Aileen Theodora melalui Blackberry Gemini-ku. Si Aileen ini sudah setiap hari datang ke sekolah telat, masih sempat-sempatnya juga merepotkan teman baiknya ini. Apa sebaiknya aku pura-pura tidak membaca pesannya saja ya?

Aileen: Jangan mentang-mentang gue ngirim pesan manual, lu pura-pura gak baca ya. Lu kan gak nyaman sama lampu BB yang nyala-nyala.

Sebelum aku melancarkan aksi 'pura-pura tidak membaca pesan', Aileen sudah lebih dulu menebaknya. Oh my... Padahal yang kulakukan saat ini hanya duduk diam dengan mata terpejam sambil mendengarkan lagu M2M berjudul Pretty Boy melalui headset, dan aku berharap semua orang—khususnya Aileen—dapat memahamiku yang sedang menikmati udara pagi yang sejuk di kota Bogor ini. Dia ini selalu saja tidak tahu situasi.

Cubitan pelan di punggungku sontak membuat tubuhku terlonjak kaget. Aku menoleh ke belakang, tepatnya ke arah perempuan berambut lurus panjang, bermata besar, dan wajahnya yang sedikit tembam.

Safira Febriani yang sedang duduk dengan anak perempuan kelas sebelah melayangkan ekspresi dongkol kepadaku.

Aku melepaskan sebelah headset-ku karena aku tidak bisa mendengar apa-apa. "Apaan sih?" tanyaku kesal.

"Lu gak denger gue panggilin dari tadi?" sentaknya emosi.

"Lu gak liat gue lagi apa?" tanyaku menunjuk sebelah headset-ku yang terlepas. Tolong sangat amat ditolong, aku sedang menikmati lagu ini dengan suara penuh, bisa tidak sih semua orang berhenti mengusik keindahan hidupku.

"Jadi dari tadi lu gak denger apa-apa?" tanyanya bingung. Aku pun ikut bingung.

"Denger apaan?" Aku bertanya dengan urat leher mengencang. Arah pandangku beralih pada perempuan yang kalau tidak salah namanya Leona, ia terlihat kaget melihat responku. Aku pun cepat-cepat berdeham dan melayangkan senyum sopan kepadanya.

"Udah ya, gue lagi sibuk dengerin lagu soalnya," cetusku memelankan suara karena merasa tidak enak ditatap oleh perempuan berkulit putih pucat itu. Reputasiku yang dikenal pemarah dan tukang ngegas ini sebaiknya diperbaiki sedikit demi sedikit. Aku tidak mau kepribadianku yang baik hati, dan tidak sombong ini tak terlihat di mata publik. Oh, kecuali rajin menabung, aku benci menabung.

Aku kembali menempelkan headset ke dalam telinga, mengangguk-ngangguk kecil menikmati lagu yang mengalun lembut. Namun pesan Aileen lagi-lagi menggangguku. Gadis mungil itu memang perlu mendapatkan tendangan maut di bokongnya sampai dia kapok menggangguku.

Dengan sekali tarikan napas, aku mematikan lagu yang sedang kudengarkan. Baiklah, Kaluna, bersedekah bukanlah hal yang sulit. Sepertinya aku harus berbaik hati membantu Aileen membawa buku mata pelajaran matematika ke kelas.

Aku hendak mencabut headset yang kukenakan, namun secara tidak sengaja aku mendengar obrolan dua orang di belakangku.

"Lu mau kan bantuin gue, Lon? Gue beneran suka banget sama dia," eluh seseorang yang sangat kukenal suaranya, siapa lagi kalau bukan Safira. Omong-omong siapa objek yang mereka berdua sedang bicarakan?

"Tenang aja, pasti gue bantuin. Tapi kok lu bisa suka sama dia sih, Fir? Perasaan pas lu sekelas sama dia dulu, lu malah biasa aja tuh sama dia," kata Leona dengan nada suara yang sangat pelan tapi masih bisa kudengar.

Aku tahu tindakanku sangat tidak sopan, tapi jujur aku sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Siapa gerangan yang dimaksud di pagi hari yang cerah ini? Astaga, mengapa gosip orang lain selalu nikmat didengarkan.

Terdengar suara kekehan kecil dari Safira. "Gue juga gak tau kenapa tiba-tiba bisa suka sama dia. Tapi ini semua berawal dari Kaluna sih," gumamnya.

Apa? Aku? Kenapa Safira menyeret-nyeret namaku dalam obrolan mereka? Wah, makin membuatku penasaran saja!

"Eh udah, udah. Orangnya dateng," bisik Leona yang sontak langsung membuatku mengangkat kepala ke depan untuk melihat orang yang dimaksud gadis itu.

Secara tak sadar aku meremas rok biru yang kukenakan. Aku mencoba menelan ludah dengan amat susah payah yang terasa seperti gumpalan batu menyangkut ditenggorokan.

Sekitar tiga laki-laki berjalan memasuki kelas 9-2 ini, mereka tampak sedang mengobrol seru sembari bersenda gurau. Kira-kira yang mana...?

"Lon, liat deh! Ganteng banget, kan?" seruan pelan tertahan itu langsung membuat jantungku bertalu-talu sangat cepat.

Aku ikut memerhatikan tiga orang laki-laki yang berjalan menuju barisan paling ujung kiri. Laki-laki berkulit agak gelap, kalau bicara tangannya tidak bisa diam, dan tingginya yang tidak memumpuni itu membuatku ragu bahwa Angga Tyson-lah yang dimaksud Safira. Pandanganku teralih pada lelaki berkulit putih pucat, rambutnya yang berdiri seperti sapu injuk, jari telunjuknya yang mengoyak-ngoyak lubang hidung kemudian memeperkan upilnya ke tembok kelas. Tentu saja Muhammad Sholeh Iskandar atau lebih dikenal Kohar itu tidak akan mungkin menjadi objek yang layak dikatakan 'tampan' oleh Safira.

Lalu hanya satu yang tersisa...

"Elvano Varren!"

Laki-laki bertubuh tinggi dengan menggunakan seragam sekolah yang dikeluarkan itu menoleh ke belakang saat mendengar seruan namanya. Matanya yang kecil tampak menyipit ketika bibirnya menyunggingkan seulas senyum ramah pada orang yang memanggil nama lengkapnya seperti ajakan tawuran.

Aku tertegun sejenak, menatap senyum yang menunjukkan gusi merah mudanya yang menawan. Yang membuatku enggan mengalihkan pandangan meskipun aku ingin. Apakah seseorang yang dikatakan tampan oleh Safira adalah...

"Senyumnya manis banget," gumaman Safira mampu membuatku berhenti bernapas.

Tidak perlu ditanya jawabannya pun sudah jelas siapa yang dimaksud Safira. Ternyata orang yang disukai Safira adalah Elvano Varren. Oh my...

Kau tahu berbagai macam pemicu cara agar menyadari perasaanmu sendiri? Ya, salah satunya adalah ketika orang lain secara terang-terangan memberikan perhatian pada seseorang yang sudah lama kau perhatikan.

Selama ini aku mencoba menolak segala kemungkinan yang datang dengan tidak tahu dirinya setiap aku hendak memejamkan mata. Bayang-bayang wajahnya mengitari isi pikiranku setiap malam, senyum bodoh di bibirku saat membayangkannya sebelum tidur, dan tak sabar menunggu pagi hari sehingga aku bisa bertemu dengannya di sekolah.

Kupikir aku hanya kagum karena ketampanannya...

Kupikir itu hal biasa yang sering dirasakan kebanyakan perempuan saat melihat lelaki tampan...

Kupikir, hatiku benar-benar telah mati dan tidak akan pernah berdetak untuk siapa pun lagi.

Sayangnya aku salah. Saat ini, detik ini juga, aku telah menyadari satu hal yang sudah kuberusaha buang jauh-jauh. Aku menyukai Elvano Varren.

One Last Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang