Bab 1 - Rain Song

10.3K 649 10
                                    

Bosan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bosan. Tidak bersemangat. Kesepian. Ketiga hal itu menggambarkan apa yang sedang dirasakan gadis itu dari tahun ke tahun.

Kata orang semakin dewasa manusia, semakin hidup terlihat tidak menarik. Benarkah begitu? Entahlah, sepertinya benar. Karena ia sama sekali tidak menikmati waktu dengan baik, ia lupa bagaimana tersenyum bahagia, ia lupa rasa lelah, dan ia lupa bagaimana cara membuat hati berdebar-debar. Semuanya terasa menghilang hingga menjadikan langit penuh bintang di malam hari sama sekali tak terlihat indah.

Kaluna Utari meletakkan secangkir teh yang masih mengepul di atas meja sebelah sofa yang menghadap ke jendela besar apartemen pribadinya.

Suara hujan di luar sana mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang kini entah ada dimana. Seseorang yang dulu membuat kehidupannya terasa ringan dan mudah.

Bibirnya tertarik membentuk senyuman, membayangkan hari-hari di masa mudanya yang begitu menyenangkan dan penuh dengan kekonyolan. Namun sedetik kemudian, senyum itu menghilang. Kepalanya bergerak memutari ruangan apartemennya yang sunyi senyap, hanya terdengar suara hujan yang membawa kenangan lama dalam ingatan.

Kaluna menghela napas berat, sayang sekali, semua hal yang dulu terlihat indah itu kini telah menghilang sepenuhnya. Menyisahkan Kaluna Utari berumur dua puluh lima tahun yang tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki ratusan kebodohannya kala itu.

Bahunya sedikit terlonjak ketika mendengar suara bel apartemennya yang memecah keheningan. Tangannya terangkat menyentuh dadanya sendiri, dan kepalanya terangkat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Siapa yang datang malam-malam begini ke apartemennya?

Kaluna bangkit berdiri lalu berjalan menuju pintu apartemennya. Tubuhnya membeku saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Seorang perempuan dengan rambut panjang yang diwarnai merah menyala—mungkin ia sempat kehujanan atau bagaimana—karena rambutnya terlihat lepek. Perempuan itu merapatkan jaket hitam yang ia kenakan karena menggigil kedinginan.

"Boleh gue masuk?"

***

Kaluna menaruh secangkir teh hangat di atas meja ruang tamu, sedangkan tamu yang tak diundang itu tengah berdiri di depan gorden jendela yang terbuka lebar-lebar.

"Apartemen lu bagus," komentar perempuan itu. "Apa yang lu punya saat ini adalah apa yang dipengenin banyak orang," gumamnya tersenyum kecil mengandung arti.

Kaluna tidak menanggapi, gadis berambut cokelat itu mendesah pelan. "Kenapa lu gak telepon gue kalau mau ke Jakarta?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Perempuan itu menoleh ke belakang, ia melihat Kaluna sudah duduk di sofa menunggu segudang alasan mengapa Safira Febriani datang ke apartemennya tanpa mengabari lebih dulu.

Safira tersenyum kecil, ia mendekati sofa ruang tamu dan duduk berhadapan dengan Kaluna.

"Hidup di Bogor terlalu keras, gue ke Jakarta buat ngelariin diri. Kayak elu," katanya masih dalam senyum.

One Last Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang