Kaluna Utari merasa hidupnya berjalan dengan baik hingga berumur dua puluh lima tahun. Ia memiliki semua yang tak banyak orang bisa dapatkan. Tapi dengan semua keberkahan itu, kenapa ia masih tetap merasa kesepian? Sebenarnya apa yang sudah tertingg...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kaluna Utari berdiri di depan rumah besar yang dicat warna kuning terang. Ia bisa melihat semua bagian rumah ini yang terlihat masih baru, dari jendela, pintu, keramik, bahkan sampai atap rumahnya yang belum menghitam.
Tahun 2011 memang tahun bersejarah bagi keluarganya, dimana rumah yang baru dibuat kerangkanya sejak tahun 2009 dapat diselesaikan di tahun 2011 karena ayahnya dapat pekerjaan yang sangat menjanjikan.
Gadis itu mengusap sudut air matanya yang berair, terharu sekaligus bahagia karena ia bisa kembali melihat momen-momen yang rasanya tak mungkin bisa kembali. Meskipun ia masih tak paham apa yang sedang terjadi padanya, ia tidak peduli lagi. Selagi dirinya diberikan kesempatan melihat hari kemarin yang telah hilang, semua ini lebih dari cukup meski dirinya harus meninggalkan dunia ini.
"Gue gak nyangka balik ke rumah di umur empat belas taun lagi," gumamnya.
Kaluna menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Ia tidak sabar bertemu dengan orangtuanya, pasti mereka terlihat jauh lebih muda dari terakhir kali ia bertemu.
"Mama, Kakak pulang!" serunya kencang sembari membuka pintu rumahnya.
Kedua orangtuanya tengah duduk di ruang tamu, lebih tepatnya sang ibu sedang mengobrol dengan ayahnya yang terlihat sedang makan siang.
Kaluna tak bisa menahan diri untuk tak menangis melihat kedua orangtuanya, ibunya masih berambut panjang dan muda, ayahnya juga masih terlihat agak kurus dan tampan—oh iya jangan lupa rambutnya yang belum botak.
"Mamaaa... Papa..." Tangisnya malah menjadi-jadi. Kaluna berhambur memeluk kedua orangtuanya sambil menangis tersedu-sedu, sedangkan kedua orangtuanya menatap Kaluna dengan ekspresi kebingungan.
"Maafin Kakak kalau jarang pulang ke Bogor, jarang nelepon Mama sama Papa. Ternyata hidup sendiri itu berat, Ma. Kakak kangen disuapin Mama, dibangunin Mama, apalagi dikasih duit sama Papa. Jadi dewasa gak enak sama sekali, Kakak pengen balik lagi jadi anak Mama sama Papa yang masih diurusin..." Kaluna mengatakannya tersedat-sedat. Air mata tak kunjung berhenti mengalir menuruni pipinya.
Ternyata acara haru biru yang penuh drama itu dianggap sebagai keanehan bagi orangtuanya. Begitu santainya, sang ibu mendorong tubuh anaknya hingga Kaluna terjungkal di lantai.
"Gak usah aneh-aneh deh, Lun. Mama tau kamu pengen laptop, tapi gak usah drama-drama kek gini," cetus ibunya tak habis pikir kelakuan anak sulungnya yang makin lama makin mengkhawatirkan.
Sambil mengunyah ayahnya juga berkata, "Papa lagi cari-cari laptop second yang masih bagus. Sabar aja dulu, lagian masih ada komputer ini," ujarnya salah mengartikan sikap anaknya.
Kaluna menghela napas, ia mengusap air matanya dan menganggukan kepala. Percuma saja ia mengatakan isi hatinya kepada orangtuanya, mereka berdua sudah pasti tidak mengetahui apa-apa.