Rela Menanggung Resiko Demi Ayank

20 1 2
                                    





Aku merasa berdosa banget karena manfaatin perpus sebagai sarana melampiaskan penat. Tapi aku nggak kuat, Coy, ngantuk banget serius. Mungkin ini efek kelelahan karena tiga hari ini, aku menerima lima pekerjaan serabutan. Tiga diantaranya sebagai tukang bersih-bersih, sisanya jadi tukang cuci mobil. Semuanya dari kenalan Pak Haji. Dalam hati aku berseru, "Buset! Social butterfly juga nih Pak Haji."

Yang bikin puas juga sebenarnya gajinya. Lumayan buat hidup mandiri sebagai anak kosan daripada bebanin bapak dan mamak. Bahkan aku sudah bisa menyisihkan beberapa buat lanjutin tabungan mesin cuci mamak. Woah, rasanya the dream comes true. Hehe!

Yah, meski pekerjaannya terbilang mudah dikerjakan tapi nggak ringan, Kawan. Rumah-rumah yang kusambangi kebanyakan adalah hunian kosong yang besar, kayak si pemilik beli cuma buat nambah koleksi aset saja. Makanya perlu sesekali dibersihkan. Agak kaget juga pas tahu kalau aku bekerja sendirian. Yah, capek banget. Bayangin saja pulang sekolah langsung otewe terus kerja sampai selesai. Paling lambat tuh habis maghrib. Mana setiap kerja ada saja yang gangguin. Serius ya ini. Lagian itu rumah kenapa nggak dikontrakkan saja biar ada hawa-hawa manusianya. Jadi nggak banyak makhluk halus yang tinggal.

Ah, percuma aku ngomel-ngomel kayak gini. Yang penting dapat cuan, udah ah!

Omong-omong, sudah jam berapa ya ini? Semoga Pak Samsul--guru kimia--nggak menyadari kalau muridnya ini absen karena molor di perpus.

Ealah, mana hape ketinggalan di kelas!

Aku pun bangkit untuk menengok jam dinding yang kutahu berada di area pustakawan. Tuh, terdengar sampai sini saking sepinya. Suara kertas yang dibalik saja sampai lho.

Gila, hening banget oy! Merinding akunya!

Aku buru-buru mengalihkan perhatian daripada mikirin yang iya-iya. Perpustakaan sini besar, tiga kali lipat ukuran kelas dengan rak-rak cukup tinggi. Kakiku melangkah agak cepat saat kulitku mulai meremang.

Plis deh, perasaan tadi biasa saja?

Jam sebelas. Oke, sudah waktunya masuk kelas. Kulihat sekilas si pustakawan yang membelakangiku sambil menunduk.

Kupikir beliau sedang membaca, makanya pas membalik kertas sampai kedengaran.

"Bolos ya?"

Aku spontan menghentikan niat untuk melangkah lalu menoleh ke si mbak-mbak pustakawan yang memergokiku. Aku pun nyengir.

"Maaf, Mbak. Ngantuk banget tadi."

Karena si pustakawan itu nggak menyahut lagi, aku pun pergi. Namun baru saja sampai ambang pintu, sel otakku bekerja cepat menyimpulkan sesuatu.

Bukannya pustakawan sekolah sini tuh cowok ya?

Hatiku maunya berlari, seenggaknya jalan cepat. Tapi demi apa, kayaknya berat banget ini kaki! Ampun!

Mencoba positif, aku menolak fakta yang kuungkap tadi. Bisa saja ada sistem shift? Atau si pustakawan asli sedang absen jadi mbak-mbak tadi adalah penggantinya? Bisa jadi 'kan?

"Hihihi, ketahuan ya, hihihi!"

Deg!

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku memaksa diri untuk berlari sambil berteriak-teriak memanggil mamak sepanjang koridor.

👻👻👻

Aku abai pada tawa Agni yang nggak kunjung berhenti. Nggak kesal, cuma malu saja karena dia sedang menertawakanku. Gara-gara teriakanku yang bikin gaduh, aku dihukum menulis seratus kalimat penyesalan. Dan kejadian itu sudah menyebar seantero sekolah. Hadeh, gini amat jadi nak indihom.

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang