Baru juga kemarin aku merasa bakal merasakan kehidupan normal tanpa pusing soal hukum, eh, pagi ini aku dapat kabar buruk. Seburuk-buruknya kabar.
Pak Arman kabur, Man!
Bodong emang itu orang. Sepertinya beliau sudah mendengar soal kasus Nirmala yang dibuka lagi makanya memilih melarikan diri. Padahal perkaranya saja baru mau diajukan ke pengadilan, pelakunya malah hilang duluan.
Oalah, lha terus orang-orang sewaan papanya Agni itu gimana, toh?
"Udah dengar kabar terbaru?" Juni langsung bertanya begitu aku kembali dari kamar mandi.
"Udah tadi pas bangun langsung cek hape. Pak Arman kabur," jawabku sambil melempar handuk. Kesalku bertambah saat baru menyadari jika kehabisan sampo padahal rambut sudah lepek gini. Omong-omong, semalam Juni menginap lagi karena hari ini libur. Nggak apalah punya teman ngobrol daripada gabut di hari Minggu, pikirku.
"Bukan itu. Seorang pencinta ikan nggak sengaja kasih salah obat ke ikannya, alhasil semua ikan koinya mati. Katanya rugi ratusan juta. Gimana menurutmu?"
Aku berdecak. Nggak jelas emang ini anak satu. Memilih abai, aku pun memeriksa perlengkapan mandi yang hanya tersisa satu biji sikat gigi cadangan. Meski malas, aku pun memaksa diri untuk bersiap.
"Ke mana?" tanya Juni.
"Ke minimarket bentar," jawabku.
"Ikut!"
"Bentar doang! Cuma ke depan sana juga."
"Ke depan apanya? Mini market di sini ya satu kilometer jaraknya. Udah sekalian aja. Yok!"
Tanpa bisa membantah, aku mengizinkan Juni ikut denganku. Kami berjalan kaki menuju mini market. Itu rencananya sampai tiba-tiba saja Juni mencegat sebuah taksi dan memaksaku masuk. Ini sudah kayak adegan penculikan, sih. Bedanya aku sukarela menyerahkan diri karena belum paham juga maunya tuh bocah.
Sekitar lima belas menit kemudian, barulah aku tahu tujuan Juni, yakni sebuah mal di tengah kota. Awalnya aku protes, tentu saja. Buat apa belanja di mal yang sudah jelas harganya beda jauh. Mana muat isi dompetku nanti menanggung tagihannya!
Tapi pada akhirnya aku hanya bisa terbengong saat Juni mengambil barang serampangan lalu menyerahkannya kepada kasir. Nggak hanya itu. Sebuah kartu ikut diberikan pula kepada kasir. Lalu, gesek-gesek-tekan. Dan barang belanjaan itu sekarang sah menjadi milikku.
Heh. Ini bocah makin nggak jelas.
"Makan siang?" tawarnya.
Dan entah sihir apa yang dia pakai sehingga aku manut saja ke mana dia membawa. Kami menikmati hidangan di sebuah food court. Belum puas juga, Juni mengajakku menjajal berbagai macam permainan di mal itu. Sebetulnya aku cukup terkesan. Masalahnya aku belum pernah masuk mal.
Iya. Ini yang pertama. Jadi, memang agak awkward saja untukku. Tapi demi menjaga imej, aku pun berlagak seolah nggak tertarik sama sekali padahal dalam hati ya "wah-woh-wah-woh" gitu.
"Nah, yang itu selingkuh level pemula, tuh," kata Juni lalu memberikan kode berupa lirikan singkat ke samping kirinya. Di sana sejoli duduk sambil menggenggam tangan di atas meja. Senyum mereka malu-malu seperti remaja baru mengenal cinta padahal mereka sudah dewasa.
Tahu-tahu saja Juni memotret sejoli tersebut dengan kamera mungilnya, begitu hati-hati dan nggak kentara.
"Apaan sih, Jun? Nggak sopan," tegurku.
Juni cengengesan sebelum menjawab,
"Hobi, Pan. Ini asyik, kok. Tenang, 99% pelaku nggak akan menyadari. Kalau pun sadar tinggal ngeles aja kitanya. Sembunyikan foto, beres."
![](https://img.wattpad.com/cover/220019573-288-k326178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost, Away! (TAMAT)
Siêu nhiênNamaku Topan. Dan aku bisa lihat hantu. Padahal dari silsilah keluargaku sendiri nggak ada yang punya bakat itu. Suatu hari aku terpaksa pindah sekolah, bukan karena perihal dinas bapak, tetapi karena aku habis menghajar satu bocah tengil. Salahnya...