Aku Merasakan Sesuatu Yang Lain

22 2 0
                                    




Entah berapa umur Pak Tarjib ini. Kayaknya udah tujuh puluhan. Beliau hidup sendiri karena dua anaknya sudah menikah, sementara istrinya sudah lama meninggal. Sehari-harinya Pak Tarjib membuat sapu korek untuk mengisi waktu luang sedangkan kebutuhan lain sudah ditanggung kedua anaknya lewat ketua RT.

Menurut cerita beliau, bisa saja dia ikut salah satu dari dua anaknya yang untungnya berbakti itu. Tapi katanya dia malu dan memang nggak mau. Jadilah seminggu sekali saja anaknya itu, yang untungnya lagi tinggalnya nggak jauh, datang menjenguk. Begitulah perbincangan kami di pagi menuju siang itu. Hitung-hitung basa-basi sambil curhat sampai akhirnya inti dari perjalanan panjang kami tersampaikan. Oh iya, omong-omong semalam kami menginap di rumah Pak Tarjib karena sudah terlampau lelah. Barulah setelah sarapan dan melakukan serangkaian kegiatan bantu-bantu di rumah beliau, kami mengubah topik perbincangan ke inti masalah.

Saat ini Pak Tarjib sedang duduk tenang tanpa kata setelah kami menceritakan semuanya.

"Maaf ya Pak Tarjib kalau kami lancang mengungkit hal ini tapi kami benar-benar minta bantuan Pak Tarjib," pinta Agni.

Kulihat Pak Tarjib manggut-manggut.
"Nggak apa-apa, Nduk Agni. Bapak nggak keberatan. Tapi Bapak mohon maaf kalau nanti ada yang kelupaan soalnya ya maklum... sudah pikun." Usai berkata seperti itu, Pak Tarjib terkekeh.

"Jadi, apa Pak Tarjib nggak keberatan kalau perbincangan kita ini kami rekam?" tanya Agni.

"Nggak, Nduk. Silakan. Saya juga akan menceritakan semampu saya. Silakan," jawab Pak Tarjib.

Aku saling pandang sejenak dengan Agni, merasa lega karena saksi kali ini lebih kooperatif.

"Baiklah, Pak. Bapak bisa langsung menceritakan kronologi kejadian hari itu."

Usai mendapat lampu hijau dari Agni, Pak Tarjib mulai menjabarkan apa saja yang beliau ketahui hari itu, secara detail. Meski demikian, kami harus pandai menyusun alurnya karena memang Pak Tarjib menceritakannya secara acak di beberapa bagian.

Pertemuan kami hari itu berjalan begitu saja hingga setelah selesai, kami harus segera kembali agar nggak kemalaman. Sambutan dan penerimaan hangat Pak Tarjib sempat membuat Agni tersentuh. Yah, bagaimanapun juga beliau adalah orang tua yang tinggal sendiri. Membayangkan itu terjadi kepada orang tua kami pastilah sangat menyentuh.

Kami pun akhirnya benar-benar berpisah dengan pria ramah nan baik hati itu. Nggak lupa Agni memberikan sedikit "kenang-kenangan" kepada beliau. Yang sebenarnya menurutku itu nggak sedikit. Karena demi apa, ya, itu cewek bawa duit cash belasan juta! Demi apa! Ya Tuhan! Dari sana aku sungguh-sungguh berdoa agar perjalanan pulang kami selalu bertemu manusia-manusia baik.

Gila emang si Agni! Kenapa juga kalau punya uang segitu nggak nyewa travel saja? Taksi? Atau apalah yang agak pribadi biar lebih aman dan nggak perlu bersusah payah untuk sampai ke rumahnya Pak Tarjib.

Ah, tahu ah!

👻👻👻

"Kenapa sih, Nir, sekarang jadi ngikut Bu Kinar?" tanyaku suatu hari kepada Nirmala.

Saat ini kami berada di kelas. Hanya ada aku dan dia karena yang lain pada istirahat di luar. Aku sendiri sedang malas karena memang perut masih amburadul akibat makan sarapan buatan Agni. Namanya sekutel apa gitu. Sudah kuduga perut lokalku ini nggak akan level makan makanan gituan. Awalnya sih lumayan bisa diterima lidah, tapi lama-lama bikin eneg. Mana tadi terpaksa kuhabiskan, jadilah saat ini ususku mabuk sekutel.

"Bu Kinar enak," jawab Nirmala.

"Maksud?" tanyaku nggak paham. Kutatap wajah pucatnya dengan serius. Bukannya aku sudah nggak takut hantu, tapi Nirmala ini kan beda dari hantu lain. Lagipula aku sudah terbiasa dengan sosoknya.

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang