Balasan Untuk Si Pelit Dan Orang-orang Yang Menganiaya

66 9 6
                                    



Masih ingat dengan anak pelanggan Mamak yang nggak mau minjemin sepatunya saat aku lagi butuh?

Aku nggak akan reveal namanya. Keenakan entar dia namanya jadi diingat-ingat pembaca. Sebut saja dia dengan "si bocil". Aku nggak tahu banyak latar belakang keluarganya. Intinya, aku kesal dan menyimpan dendam. Sebenarnya ini memang kekanakan. Padahal kejadiannya sudah tahunan lalu. Aku masih kelas enam SD kala itu. Dia sendiri merupakan juniorku, kelas empat SD. Tapi badannya memang lebih besar dari teman-temannya, meski tak lebih gagah dariku bahkan ketika kini kami sudah beranjak remaja.

Hanya saja, entah kenapa tiap kali ibunya datang, aku jadi teringat lagi. Rasanya sakit hatiku kambuh lagi padahal kami hanya bertemu setidaknya dua sampai tiga kali saja.

Ibunya masih menjadi pelanggan jasa jahit mamakku. Aku yang biasanya paling malas kalau harus nemenin mamak menjahit, kini selalu rajin duduk dekat beliau jika ibunya si bocil berkunjung. Soalnya dari sana aku jadi tahu apa saja kelakuan anaknya yang pelit itu.

"Topan rajin bener, deh. Bantuin ibunya kerja tapi belajar juga bisa rajin. Beda banget sama anakku yang ragil* itu. Duh, bikin panas ati!"
[*Bungsu, anak terakhir]

Nah, itulah salah satu contoh kalimat pembuka yang membuatku giat belajar kehidupan si bocil. Dari sana aku bisa mengumpulkan informasi yang mungkin saja berguna nanti.

Dan, benar saja.

Kala itu, aku dipertemukan sama si bocil pas dia mau daftar ke sekolahku. Dia bersama kawan-kawannya mungkin berniat melihat-lihat bagaimana kondisi calon SMA-nya. Fyi, SMA-ku ini merupakan salah satu sekolah favorit karena murid-muridnya terdahulu sering menang ketika ada lomba antarsekolah. Sebenarnya aku yang saat itu sedang beristirahat sendirian di samping laboratorium biologi nggak ada niatan untuk mencampuri mereka ataupun membalas dendam. Tetapi, tahu-tahu saja dia mengolok-olokku atas kelebihan yang aku miliki.

"Heh, kalian mau lihat orang gila nggak?" serunya kepada kawan-kawan seperbocilan.

"Itu orang gilanya, lagi duduk, Gaes! Lihat tuh pakai seragam. Ohooo, orang gilanya pengin pintar juga, Gaes!" imbuhnya.

Kawan-kawannya ikut tertawa karena dia juga tertawa. Namun aku diam saja. Tak menyahut meski hati ini sudah panas. Aku bangkit dan berniat pergi dari sana. Kulewati gerombolan bocil ngakak itu. Namun, lidahnya makin tajam saja.

"Eh, eh, tahu nggak, dia biasanya bisa lihat setan, lho! Katanya dia temenan sama setan!"

"Lah, masa iya? Kok bisa gitu?" Itu salah satu kawannya yang bertanya.

"Lha iya to, lhawong dia anak setan!"

Oh, that's enough, Man!

Menghina orang tua lawanmu adalah cara paling banci. Karena itu tandanya kamu kehabisan ide untuk menyerang. Otakmu kurang cerdas untuk bermain kata.

Aku berputar badan. Kakiku berderap cepat mendekati si bocil yang masih tertawa lebar. Satu kawannya sebenarnya sudah menyadari apa yang akan terjadi, tapi dia terlambat.

Satu tinju telanjur kudaratkan ke pipinya yang tepos itu. Aku juga sepertinya merasakan benda keras di balik daging hidung peseknya itu bergeser. Dia terjatuh dan aku masih menyerangnya.

Kujambak rambut tipisnya lalu kuludahi wajahnya yang kini dihiasi darah.

"Anak setan kamu bilang! Ini anak setan! Tahu rasa sekarang sama anak setan! Dasar tukang ngutil!" teriakku sambil tetap menjambak.

Dia menjerit sambil berkata apalah itu, nggak jelas juga kupingku mendengarnya. Jadi congek kayaknya aku. Kurasakan pula tarikan dan pukulan dari kawan-kawannya, tapi tak kuhiraukan. Masa bodoh! Aku benar-benar marah saat itu. Rasanya ingin kubunuh si bocil sekarang juga.

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang