Rupanya Indigo Itu Bukan Hanya Bisa Lihat Hantu

27 2 2
                                    




"Iya, Mak, aku inget. Kompor sama magicom, 'kan? Lemari makannya sekalian kalau bisa. Udah ya Mak, aku mau ngerjain PR dulu."

"...."

"Iya nggak lupa. Deket sini ada masjid, kok. Dah ya Mak."

Tanpa pakai "i love you", aku mengakhiri percakapanku dengan Mamak di telepon. Kupandangi sejenak kamar 3x4 yang akan menjadi tempat tinggalku kurang lebih setahun ke depan.

Indekos milik Pak Haji ini masuk ke kategori layak sekali. Enam belas kamar yang dibagi dua, enam di bawah untuk dikontrakkan, sisanya yang di lantai atas adalah kamar kecil seperti yang aku tempati ini. Satu kamar terdapat tempat tidur, meja belajar, dan satu lemari pakaian dua pintu. Untukku sudah lebih dari cukup. Apalagi ternyata ada dapur bersama. Sayangnya kondisi dapur itu agak berantakan karena nggak ada yang pakai.

Penjaga kos bilang, rata-rata penghuni indekos sini adalah pekerja yang berangkat pagi pulang malam sekali. Apalagi semuanya adalah laki-laki jadi mereka akan memilih membeli makanan di luar daripada memasak sendiri.

Isi kamarku hanya itu tadi. Maklum, kemarin aku berangkat dadakan jadi nggak sempat membawa perlengkapan lain. Dan malam ini Mamak meneleponku untuk menanyakan apa yang dibutuhkan.

Mamak sendiri yang bilang kalau aku mestinya punya dispenser, kipas angin, kompor, magicom, dan entah apa lagi tadi.

Ah, Mamak is the best!

Cuma ya itu, kata Mamak kalau bisa aku beli sendiri soalnya Mamak belum punya uang lebih untuk membeli itu semua.

Ah, Mak. Buat beli mesin cuci saja sampai kini belum terwujud.

Baru saja aku berniat membuka buku, ponselku berdering lagi. Kulihat ada nama Pak Haji di layar jadi langsung saja kuangkat. Jarang-jarang Pak Haji menelepon. Pertama dan terakhir kali beliau menghubungiku adalah untuk menanyakan apakah beras pesanan pelanggan sudah diangkut semua.

"Wa'alaikumussalam Pak---"

"Eh, Pan, masih mau kerja kamu? Ini ada kerjaan kalau kamu mau. Nggak berat. Cuma jadi tukang potong rumput tapi bayarannya lumayanlah. Kalau mau, nanti aku bilangin ke orangnya. Gimana, Pan?"

Pak Haji yang menyerocos nggak memberiku kesempatan berpikir panjang. Jadi aku iya-iya saja. Setelahnya percakapan ditutup oleh beliau setelah mengucapkan salam. Tanpa basa-basi.

Aku menghela napas panjang. Gini amat punya majikan. Eh, mantan majikan. Tapi aku sangat bersyukur beliau peduli kepadaku. Kemarin saja aku dikasih pesangon yang kupikir cukup untuk menutup biaya kebutuhan sehari-hariku di sini selama sebulan ke depan. Sekarang dibantu untuk mendapatkan pekerjaan. Yah, akhirnya sikap beliau yang kadang nyebelin itu ketutup sama kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan. Aku juga salut sama Pak Haji dan keluarganya yang walau udah jadi orang mampu masih berkenan membantu. Apalagi membantunya nggak setengah-setengah kayak gini.

Aku menatap buku pelajaran di meja. Kupikir lagi, pantas SMA Kusumawijaya menerimaku begitu saja meski punya catatan merah. Rupanya reputasi sekolah itu menurun setelah kejadian kematian siswi di sana. Ditambah lagi, menurut pengakuan Agni, beberapa siswa memutuskan pindah sekolah. Aku sih maklum saja mendengar itu.

Dan bicara mengenai si setan cewek, aku jadi teringat sama channeling yang aku alami tadi pagi.

Gila, Man! Itu pengalaman pertamaku! Agak aneh rasanya. Ada rasa takut dan bingung tapi seru, sih.

Namun juga, channeling tadi membuat keyakinanku tentang adanya pembunuhan di sekolah itu menguat. Hanya saja, aku nggak punya bukti, Coy. Mau melakukan apa juga nggak paham.

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang