Sudah lewat pukul tujuh ketika kami sampai di rumah yang disebut Agni sebagai tempat tinggal Devina. Memang agak larut karena aku mesti kerja dulu tadi. Pagar rumah itu digembok. Pintu rumahnya pun ditutup. Kami sempat kebingungan sampai seseorang yang baru tiba bertanya,
"Cari siapa, Dek?"Laki-laki muda yang sepertinya baru pulang kerja itu adalah tetangga Devina. Kami dipersilakan mampir ke rumahnya dan disambut hangat oleh keluarga kecilnya.
"Keluarga sebelah udah pindah agak lama. Mungkin sekitar empat atau lima bulanan," terang laki-laki muda yang memperkenalkan diri sebagai Jefri. Nggak lama, seorang ibu-ibu keluar menemani kami. Rupanya beliau adalah ibu dari Mas Jefri.
"Anaknya Pak Pandu hamil makanya mereka pindah. Malulah pasti. Wong nggak ada bapaknya gitu," celetuknya yang segera ditegur sang anak.
"Bu, itu kan cuma rumor. Belum tentu benar," kata Mas Jefri.
"Loh ya memang bener, kok. Ibunya sendiri yang bilang. Waktu itu Bu Ratmi marah-marah kan sampai kedengaran? Jadi bukan Ibu yang bikin rumor. Orangnya sendiri yang ngomong. Salah sendiri keceplosan." Sang ibu membela diri.
Lagi-lagi Mas Jefri menegur halus sang ibu. Aku pun hanya bisa menahan senyum. Kira-kira jika jadi Devina, meski nggak hamil di luar nikah pun, aku akan senang hati diajak pindah.
"Kira-kira, Mas atau Ibu tahu ke mana mereka pindah?" tanya Agni.
"Kemarin itu pas mau pindahan Ibu iseng tanya, jawabnya sih mau ke rumah saudara di Jawa Tengah sana. Mereka nggak kasih alamat baru. Ya malulah pasti kalau sampai nanti warga sini ada yang main ke sana. Tapi kalau Ibu sih mending wisata ke tempat lain," jawab ibu Mas Jefri.
Mas Jefri berdeham keras. Mungkin memberikan kode kepada sang ibu meski yang dikode agaknya nggak peka.
"Ini nih ya, waktu kejadian marah-marah itu, Ibu sempet denger bapaknya Devina nyuruh gugurin kandungannya." Sang ibu menambahkan.
"Bu, kok nggak dihidangkan minuman?" sela Mas Jefri tiba-tiba. Mungkin maksudnya nggak ingin topik tambah panas dan ngawur.
Tapi sang ibu malah menjawab,
"Lha emangnya adek-adeknya ini bakal lama ya di sini?"Hadeh, ada yang tahu cara ketawa ngakak dalam hati?
Jadinya malam itu kami hanya mendapatkan informasi bahwa Devina sudah pindah keluar kota. Dan nggak ada petunjuk apa pun selain itu. Meski demikian, kami belum menyerah.
"Besok aku cari tahu lagi soal Devina lewat teman-temannya atau nggak cari info ke staf TU," kata Agni.
Saat ini kami beristirahat di kafe milik Agni. Namun, dia mengajakku ke sebuah ruangan yang full oleh hal-hal berbau gurita. Mulai dari gambar di dinding, aksesoris, dan furnitur lainnya adalah gurita. Macam-macam warna dan rupa dari hewan berbelalai banyak itu pun makin mempercantik ruangan tersebut.
"Kamu nggak deket sama Devina?" tanyaku setelah Agni menyatakan jika dirinya sama sekali nggak tahu soal Devina.
"Mana ada aku deket sama anak-anak? Palingan teman say hi doang. Aku tahu Devina cuma teman sekelas. Image anaknya kalem gitu. Kalau soal dia yang keluar itu, aku pikirnya karena tragedi Nirmala. Tahu sendiri kan emang ada yang dipaksa pindah sama ortunya," jawab Agni.
Aku mengangguk.
Rasanya aneh saja jika Agni bilang dia nggak deket sama siapa pun. Jadi, apa Nirmala berbohong? Instingku bilang Agni nggak mau ngomong soal pertemanannya sama Nirmala. Entah karena apa. Apa jangan-jangan dia lupa? Atau nggak menganggap hubungannya dengan Nirmala?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost, Away! (TAMAT)
ParanormalNamaku Topan. Dan aku bisa lihat hantu. Padahal dari silsilah keluargaku sendiri nggak ada yang punya bakat itu. Suatu hari aku terpaksa pindah sekolah, bukan karena perihal dinas bapak, tetapi karena aku habis menghajar satu bocah tengil. Salahnya...