Kata suster yang pernah merawatku, luka Juni cukup serius sampai kehilangan banyak darah. Tapi mereka berhasil mengatasinya. Juni siuman setelah tiga hari nggak sadarkan diri. Dan, baru dua minggu setelahnya aku bisa mengunjunginya. Bukan karena apa. Sebenarnya aku sudah merasa baik bahkan di hari kedua. Hanya saja, sikap protektif Agni membuatku terkurung di kamar rumah sakit begitu lama. Bahkan, orang tuaku saja nggak sekhawatir itu saat tahu kalau lukaku nggak separah yang mereka bayangkan. Ya gimana ya, ada rasa ngenes tapi memang akunya baik-baik saja. Hanya tanganku ini yang kena pisau, jadinya agak susah buat gerak.
Untungnya, Agni mau melepasku setelah kubujuk mati-matian. Aku sampai harus kongkalikong sama dokter biar lekas keluar dari rumah sakit. Soalnya, beneran deh, malu banget pas merasa baikan tapi masih mendapat perawatan. Gila emang si Agni.
"Ya, makasih udah mau datang."
Aku berdecak mendengar kata-kata Juni yang seperti sindiran itu.
"Jangan gitu, ah! Kalau bukan karena Agni---"
"Tahu, tahu. Mau langsung pulang atau duduk dulu, nih?" potong Juni.
Karena sepertinya dia masih kesal, jadinya aku segera menyeret kursi aluminium dengan kaki.
"Kapan bisa keluar?" tanyaku basa-basi. Karena aku sendirian, jadi kupikir harus menghidupkan suasana.
"Kalau udah bisa kentut."
Jawaban Juni membuatku spontan ngakak.
"Sori, sori," kataku setelah beberapa saat sadar diri akan kondisi Juni.
Juni sendiri hanya menatapku jengkel.
"Abis dioperasi nggak bisa ngakak, ya, Cok! Nggak sopan!"
Olokan Juni membuatku tertawa lagi. Kampret emang si Juni. Susah payah aku menahan diri malah disundul lagi.
"Makasih," ucapku setelah candaan kami berakhir. Rasa-rasanya aku wajib mengucapkan itu kepada Juni karena berkat dia aku hanya luka ringan. Nggak tahu saja pas dia ambruk kemarin itu bikin jantungku mau copot. Mana otak sudah bingung setengah gila. Bayangin saja melihat temanmu dilukai di depan mata, ambruk dan bersimbah darah. Dunia seolah mati.
Aku juga terkejut dengan perasaanku saat itu. Padahal kami sebelumnya hanya teman sapa. Dekat pun baru-baru ini tapi rasanya kami sudah berteman lama sekali.
"My pleasure. Tangan kamu... baik-baik aja tuh?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kedua tanganku memang masih diperban, kadang masih cenat-cenut.
"Sori jadi nggak bisa bawa apa-apa. Tapi... ini."
Dengan sedikit memaksakan diri, akhirnya aku berhasil mengambil sesuatu dari saku celana. Satu biji jajanan mahal yang isinya hanya satu sendok krim putih dan dua bola cokelat dengan bonus hadiah miniatur kuberikan kepadanya. Aku berinisiatif membawakannya itu karena saat ke mal kemarin, dia bilang itu jajanan wajibnya.
Mata Juni membola. Wajahnya menjadi semringah setelah menerima oleh-oleh miniku itu.
"Wuih, tahu aja lagi kangen Binderboy! Thanks!"
Aku mengangguk singkat.
"Belum kadaluarsa, kan? Itu yang kamu beli pas ke mal dulu," ungkapku. Bukannya aku pelit, tapi daripada nggak kemakan kan? Lagipula aku nggak doyan jajanan bocil kayak gitu.Juni pun memeriksa tanggal expired lalu mengacungkan jempol.
"Tumbenan Agni nggak ngintilin kamu?" tanyanya."Katanya ada urusan sama papanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost, Away! (TAMAT)
ParanormalNamaku Topan. Dan aku bisa lihat hantu. Padahal dari silsilah keluargaku sendiri nggak ada yang punya bakat itu. Suatu hari aku terpaksa pindah sekolah, bukan karena perihal dinas bapak, tetapi karena aku habis menghajar satu bocah tengil. Salahnya...