10. Open The Door (?)

124 39 13
                                    

Pada ujian semester kemarin, Nash masih tetap berada pada posisi pertama. Dia seakan mengukuhkan tahta kerajaannya. Disusul oleh Yara, Reno, Faizan dan Silla. Mereka berlima menduduki posisi tertinggi di jurusannya.

Dan kali ini, di ujian mid semester kedua telah selesai dilaksanakan. Lagi-lagi Silla merasa menjadi pecundang karena dikalahkan oleh Si Dungu Yara.

Rasa dengki di hatinya semakin menjadi-jadi tatkala dia sadar bahwa Reno semakin perhatian kepada gadis itu. Reno mengatakan pada Silla, bahwa semangatnya seolah dipacu bagaikan kuda ketika gagal mengalahkan kecerdasan Yara.

Padahal ketika mereka masih di tingkat SMP, Silla dan Reno selalu berkompetisi untuk meraih tempat pertama. Gadis itu selalu berpikir bahwa hal ini akan terus berlanjut sampai jenjang selanjutnya. Silla tidak mau menerima kenyataan, bahwa di atas langit masih ada langit. Juga fakta bahwa dunia bukan hanya milik mereka berdua.

"Kamu sama Yara les di mana?" dengan sedikit kesal, Silla berjalan menuju meja Nash dan bertanya seakan pria itu memiliki kewajiban untuk menjawab semua pertanyaannya.

Nash berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan gadis ambisius di depannya ini.

Setelah satu setengah semester bersama, Nash menyadari bahwa mahluk seperti Silla adalah tipe orang yang mungkin memiliki starsindrom. Dia selalu haus akan perhatian dan sangat lihai menyembunyikannya.

Saat Yara berhasil mencetak three point pada pertandingan basket di semester awal dulu, Nash tahu bahwa Silla hanya pura-pura kesakitan.

Bukannya Nash seorang dukun, tapi dari awal Yara bermain bersama timnya, wajah Silla terlihat seperti akan meledak karena marah.

Siswi dengan tinggi sekitar 157 cm itu dari awal memang ingin ikut bermain, tapi dicegah oleh teman sekelasnya dengan alasan dia baru saja selesai operasi. Dan saat Yara membuat timnya menang, raut kesal Silla terlihat semakin jelas.

Bukan karena Nash sengaja memperhatikan Silla, tapi karena Silla memang duduk di barisan depan, dan spot tempat dia duduk mudah terlihat oleh Nash, karena Yara berdiri di sekitar sana.

"Kenapa?"

"Hanya ingin tahu saja." Jawab Silla acuh.

Jika Nash menjawab jujur bahwa dia dan Yara tidak les dimana pun, kemungkinan besar kekesalan Silla akan semakin menjadi-jadi. Dan itu akan membuat Yara kesulitan.

"Sekarang kami sudah tidak les lagi."

Nash tidak berbohong. Dulu sewaktu SMP, mereka pernah masuk ke sebuah tempat bimbingan belajar. Dan tempat itulah yang menjadi petaka gelombang kedua bagi Yara.

"Berarti sebelum ini pernah? Di mana?" pertanyaan Silla benar-benar menuntut.

"Memangnya kenapa? Kau mau les di sana? Akan kuberikan alamatnya jika mau." jawab Nash acuh. Dia tengah sibuk memeriksa laporan keuangan perusahaan peninggalan bundanya melalui smartphone.

Posisi duduknya yang berada di pojok kelas memungkinkan Nash untuk membatasi ruang penglihatan orang lain pada apa yang dia sedang lakukan.

"Boleh. Kirimkan lewat pesan, ya. Aku tunggu!" setelah itu Silla pergi berlalu tanpa mengucapkan terima kasih sedikit pun. Seolah Nash adalah pemujanya yang harus menuruti apa perkataannya.

Selama beberapa waktu, Nash masih berdiam diri dan memperhitungkan tindakan apa yang harus diambil agar bisa menjauhkan Yara dari Silla.

Tapi konsentrasinya menjadi hilang setelah menerima pesan dari Rumah Sakit Jiwa yang berisikan kalimat, 'pasien penghuni ruang 901 mencoba bunuh diri lagi. Apa Anda bisa datang melihatnya?'

Sin(k)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang