6. He is My Psikofriend.

75 27 2
                                    

Frisqi Zero Saputra.

Para pengajar di sini, mengatakan bahwa dia  adalah siswa paling teladan seantero sekolah. Ah ralat, seantero jurusan maksudku.

Para siswi di sekolah ini, menganggap bahwa Saputra adalah idola paling sempurna bagi mereka.

Sedangkan para siswa di tanah pendidikan ini, pasti akan bangga jika bisa bergaul dengan Saputra, yang dikenal sangat anti sosial.

Bahkan para pekerja yang setiap pagi mendapatkan sapaan lembut dari Saputra pun mengamini segala hal itu.

Baik. Sopan. Anak keluarga terpandang (?). Berprestasi. Disiplin. Anteng. Juga berbudi pekerti yang luhur.

Dan yang paling utama ... dia tampan.

Aku sama seperti mereka.

Bagiku, Saputra adalah tokoh imajinasi yang keluar dari cerita fantasi romansa para remaja.

Memiliki tabiat tak tercela dan fisik sempurna. Yah ... Meskipun sikap diamnya itu lebih dari sekadar biasa. Bahkan dulu, Saputra itu tidak akan bicara lebih dari tiga kata. Namun sekarang berbeda. Setidaknya ketika ia sedang denganku.

Di masa itu, Saputra adalah role model yang sering kugambar dalam buku sketsa.

Setidaknya aku masih mengidolakannya sampai peristiwa itu terjadi.

Salah satu momen yang membuatku merasa bahwa Saputra bukanlah semua itu.

Saputra yang orang-orang kenal, dengan Saputra yang kukenal sekarang, bukanlah orang yang sama.

Begitulah yang aku lihat jika kami sedang bersama. Sendirian. Dan berduaan!

"Zoya."

Oh. Dia sudah selesai dengan urusannya ternyata.

"Ya?"

"Kenapa diam saja?"

Lalu menurutmu? Apa aku harus bicara terus sampai mulutku berbusa?

Ingin sekali menjawab begitu, tapi nyaliku itu sekecil teri. Ditatap dingin oleh Saputra, aku hanya bisa tersenyum kecut sambil menjawab, "Oh ... itu ... aku bosan."

"Hmm."

Bisakah aku menyingkir sekarang?

Sungguh. Aku benar-benar tak menyukai tatapan matanya yang tak mau melepaskan satu detik pun untuk mengawasiku.

"Mau jalan-jalan ke taman belakang?"

"Hah? Apa? Ah- tidak. Aku ... hanya ingin kembali ke kelas."

Sial. Kenapa juga aku harus gugup.

Kenapa Zoya? Kenapa masih saja bertanya?!

Tentu saja karena sekarang, si sialan itu sedang berjalan mendekatiku. Saputra mengabaikan buku-buku di hadapannya dan lebih memilih untuk duduk di sampingku.

Menatap lurus kepadaku sambil menyangga kepalanya yang indah itu dengan lengan menawannya.

"Kamu--- mau melihat sesuatu yang menarik?"

Glek.

Pasti berhubungan dengan Raquel. Pasti. Tidak mungkin tidak.

Karena tadi pagi, kakak kelas kami itu baru saja membuat Saputra kesal. Jadi sudah pasti ... bahwa sesuatu yang menarik itu adalah 'menggarap Raquel'.

"Perpustakaan itu digunakan untuk belajar, Zoya. Kamu tidak boleh melamun seperti tadi."

"I-iya. Aku minta maaf."

"Tidak perlu."

Saputra mengambil telunjukku yang sedang gemetaran. Memainkannya dengan lembut menggunakan jempol dan jari telunjuk miliknya.

Sin(k)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang