11. Iblis

83 26 0
                                    

Perasaan gelap dan aura dingin membuat Nash terlihat seperti malaikat maut ketimbang pengunjung rumah sakit jiwa. Pemuda itu duduk bersandar pada kursi sambil menatap kosong pada dinding di hadapannya.

Suara jarum pada jam tangan Nash, yang biasanya tidak terdengar, kini merayap masuk pada gendang telinga pemuda tersebut. Semua keheningan ini semakin mencekam dan menenggelamkan Nash pada kegelapan tak berdasar.

Tap ...

Tap ...

Itu suara langkah kakinya. Ucap Nash di dalam hati. Pemuda itu mengembalikan kesadarannya sendiri agar tidak terlalu terbawa emosi.

Kriekkk ...

Tapi begitu pintu ruangan terbuka dan menampilkan sosok yang paling dikutuknya, Nash tidak bisa menahan diri untuk menerjang sosok itu.

Secara membabi-buta, Nash terus menerus memukuli pria yang nampak pasrah di bawahnya itu. Tapi anehnya, perawat yang mengantarkan sosok penghuni rumah sakit jiwa itu, justru diam saja ketika Nash tidak mau berhenti menyerang pasiennya.

"Bajingan!"

BUGH!

Satu pukulan mendarat mulus pada wajah pasien itu. Bibir pria yang nampaknya seumuran dengan Nash itu sampai sobek dan berdarah karena tinju dari Nash.

"Biadab! Kenapa kau terus saja mengganggunya?! HAH?! KAU BOSAN HIDUP, ABIMANA?!"

"Bunuh saja aku ..."

Kepalan tangan Nash mengambang di udara. Pemuda itu mengurungkan niatnya karena terganggu oleh ucapan pasrah Abimana.

"Kau tidak pantas mati, sialan!" Umpat Nash penuh rasa benci. Pemuda itu lantas bangun dan membersihkan bajunya dari debu.

Menatap sinis Abimana, Nash sempat berpikir untuk menghabisinya saja, tapi kematian terlalu baik untuk pria seperti Abimana. Dia harus menderita sampai akhir.

"Kau pemilik ponsel yang digunakannya untuk mengirimkan pesan padaku, kan?"

Perawat laki-laki itu nampak ketakutan saat Nash mendekatinya. Dengan nafas tertahan perawat itu mengangguk pelan.

"Ini adalah hari terakhir kau bekerja di rumah sakit ini." Tungkas Nash dengan mata menukik bagai elang yang melihat mangsanya dari kejauhan.

Mendengar ucapan Nash, perawat itu pun segera berlutut memohon maaf. Dia takut kehilangan pekerjaan sebaik ini. Gaji tinggi adalah hal yang selama ini dicarinya. Jika dis dipecat, maka sudah pasti perawat itu akan kehilangan sumber mata pencahariannya.

"Saya minta maaf, Tuan! Saya mohon jangan pecat saya. Saya bersumpah, ini akan menjadi kesalahan saya yang terakhir. Saya tidak akan lagi membantunya. Saya mohon, tuan!" Ucap si perawat berkali-kali sambil terus memegang tangan Nash. Namun sayangnya, pemuda itu bahkan tidak mau meliriknya walau untuk sebentar saja.

"Abimana, ini adalah peringatan terakhir dariku. Jika kau terus saja membuat ulah, aku bersumpah akan menjadikan hidupmu lebih buruk dari ini."

Abimana yang masih tergeletak di atas lantai, hanya menatap kosong pada langit-langit ruangan. Pria itu seperti boneka yang tak mempunyai jiwa.

"Naura ... Aku merindukannya. Aku rindu Naura." Gumam Abimana dengan sangat lirih.

"SUDAH KUBILANG NAURA SUDAH MATI, KAN?! JANGAN LAGI MENYEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU, BRENGSEK!"

"Sudah mati?" Tanya Abimana dengan ekspresi wajah sulit dimengerti, "tapi ... Dia masih hidup, Nash. Nauraku ... Adik kecilku-Ah iya ... Dia bukan lagi Naura, ya? Dia ... Yara?"

Sin(k)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang