Jeffrey Esa Kurniawan
Bercinta terbukti mampu menyingkirkan jetlag. Gladis tidur nyenyak, meskipun awalnya dia berkilah tidak akan bisa tidur karena sudah terlalu banyak terlelap selama perjalanan di pesawat. Gue tidak berani mengusiknya. Maka dari itu, ketika Akio berteriak-teriak memanggil mamanya dengan panik, gue segera menghampiri Akio di kamar.
"Papa di sini."
Akio merentangkan kedua tangan, bahasa tubuh minta digendong. Gue menuruti keinginannya. Begitu berada di pelukan gue, Akio langsung tenang, tidak lagi mencari-cari sang mama.
"Akio bobo lagi aja. Di luar masih gelap tuh."
Akio tidak mengangguk atau menggeleng. Kedua lengannya yang masih pendek memeluk leher gue dengan kuat. Dari gelagatnya, gue tahu Akio tidak akan tidur dalam waktu dekat.
Bicara tentang Akio, hubungan gue dan dia menunjukkan kemajuan. Berkat Gladis yang tak kenal lelah menciptakan momen untuk gue pergi berdua saja dengan Akio, akhirnya Akio bisa 'sedikit' bersandar pada gue. Akio memang masih sering mencari Gladis, namun kini ia akan menerima jika yang datang adalah papanya.
Gue selalu bercita-cita menjadi sosok ayah yang akan selalu ada untuk putra-putri gue kelak. Ironisnya, pekerjaan gue tidak memungkinkan hal itu.
Gue tidak ada di samping Akio ketika ia dilahirkan ke dunia. Gue melewatkan momen Akio belajar merangkak. Pekerjaan menitah-nitah Akio agar kuat berjalan dengan dua kakinya sendiri pun bisa dihitung dengan jari.
"Kita jalan-jalan ya," ucap gue memutuskan sendiri. Mainan Akio belum gue unpacking, untuk membunuh waktu lebih baik gue sibukkan Akio dengan beraktivitas di luar ruangan.
Ketika gue sudah duduk di depan Akio ingin memasangkan sepatunya, Akio merengek. Ia merebut sepatu dari tangan gue dan bersikeras ingin memakainya sendiri. Gue biarkan Akio mencoba. Setelah berkali-kali gagal dan tampaknya Akio ingin menyerah, gue tawarkan bantuan.
"Papa, toyong," pintanya sambil menyodorkan sepatu.
Gue terkekeh. Dengan mudah gue memakaikan sepatunya. Tak sampai semenit, kaki Akio sudah terbungkus sepatu.
"Nah, ayo jalan-jalan."
"Jayan-jayan," beo Akio lucu. Ia tampak tak sabar menunggu gue yang sibuk mengambil ponsel dan membereskan kabel charger. Dia sudah berdiri di depan pintu keluar.
Gue membuka pintu perlahan. Dengan cepat tangan kiri gue menyambar tangan Akio, menggandengnya sekaligus menahannya agar tidak langsung berlari keluar. Pasalnya, ada anakan tangga tepat di depan pintu. Gue tidak ingin Akio jatuh terjungkal dan luka.
"Pelan-pelan. Satu per satu."
Akio mengangguk patuh. Tangannya yang tidak gue genggam, berpegangan pada dinding. Akio turun dengan selamat.
Begitu kakinya menjejak tanah, Akio gue biarkan jalan sendiri tanpa gue pegangi. Gue mengawasi dari belakang. Hal ini gue lakukan untuk memberi kesempatan pada Akio mengeksplorasi tempat baru. Gue tidak ingin merusak rasa senangnya memperhatikan banyak hal baru terjadi di sekitar.
"Hi, Jef. Nice night for a stroll, huh?"
"Maverick!" Gue balas menyapa. Dengan akrab gue memberinya salam tepuk lima jari. "Yeah, the weather is pretty nice. How 'bout you?"
"Adrenaline pump."
Pembalap asal Spanyol itu menjawab dengan diselingi kekehan. Dari jawabannya, gue mengerti. Di sirkuit ini Maverick berhasil menyabet juara satu tahun lalu. Tentu sirkuit ini memiliki kenangan tersendiri baginya, hingga membuatnya tak bisa tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race Track
Fanfiction[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita sudah menikah hampir empat tahun. -- Jeffrey Esa Kurniawan Jeffrey itu egois. Aku sudah usaha keras biki...