Jeffrey Esa Kurniawan
Semalam adalah malam yang hectic. Karena Akio tidur siangnya terlalu lama, dia nggak bisa langsung diajak tidur malam. Padahal gue dan Gladis sudah lelah dan mata kita rasanya bisa langsung terpejam begitu kepala menyentuh bantal.
"Biar aku jaga Akio. Besok kamu kerja, tidur duluan sana."
Diberi kesempatan begitu, gue pun tidur duluan. Bukan karena gue nggak sayang istri. Tapi, gue memang benar-benar butuh tidur.
Kira-kira pukul dua pagi, ketenangan gue terganggu. Si bocah ndusel-ndusel ke badan gue, kayak anak kucing minta perhatian pemiliknya. Gue buka mata malas-malasan. Di samping gue cuma lihat Akio, nggak ada Gladis. Apakah Akio lepas dari pengawasan ibunya?
"Papa, au ain?" tanya Akio polos, di tangannya terdapat boneka kangguru.
"Ini sudah malam, Akio. Waktunya bobo."
Wajah Akio yang awalnya cerah karena berharap menemukan teman bermain, langsung menjadi murung. Boneka di tangannya pun seperti ikut-ikutan murung di mata gue. Duh, kalau gini kan gue jadi nggak tega.
Gue menyugar rambut sedikit frustasi. Akhirnya gue bangkit. Akio yang melihat hal itu langsung kembali semangat. Mungkin dikiranya gue berubah pikiran dan akhirnya mau main bersama.
"Mama mana?"
"Bobo."
Akio gue gendong ke luar kamar. Mata gue langsung melotot melihat mainan Akio bertebaran di segala penjuru ruang. Di tengah ruangan, koper besar yang seharusnya penuh hanya dengan mainan-mainan Akio, kini telah kosong.
"Akio yang bikin rumah kita jadi gini?"
"Iyah!"
Akio malah mengangguk bangga. Dikiranya bagus apa? Gue berusaha menenangkan diri. Gue harus ingat ucapan Gladis, bahwa pekerjaan anak adalah bermain. Jadi, gue nggak boleh marah-marah.
Gue menurunkan Akio dari gendongan. Dia langsung berlari, mengambil boneka lainnya. Kali ini Akio membawa boneka panda yang ukurannya lebih besar daripada boneka kangguru. Seingat gue, boneka panda ini adalah boneka terfavorit milik Akio.
"Papa, ain!"
"Mama bobo tuh," ucap gue sambil menunjuk Gladis yang rupanya ketiduran di sofa ruang tengah. "Akio juga harus bobo."
"Akio au ain."
"Mainnya lanjut besok pagi ya," bujuk gue. Gue mulai memungut satu per satu mainan Akio dan memasukkannya ke koper. Setidaknya, gue bisa meringankan pekerjaan Gladis.
"Becok?"
Akio merunduk. Tangannya memegang bahu gue yang tengah terduduk di samping koper. Tatapan Akio seperti sedang menginterogasi gue agar bisa menepati janji bermain besok pagi.
"Iya, besok." Gue menunjuk mainan Akio yang berada jauh di pojok. "Tolong bawain Papa itu."
Akio melepaskan boneka panda dari pelukannya. Kini kita berdua bekerja sama membereskan mainan yang tercecer. Semoga dengan Akio melakukan aktivitas fisik seperti ini, dia jadi kecapekan dan mau diajak tidur.
"Shasha." Gue berbisik pelan di telinga Gladis. Gue ganggu tidurnya dengan ciuman di pipi berulang kali. "Bangun. Pindah ke kasur. Nanti badan kamu pegal-pegal tidur di sofa."
"Ngh," Gladis mengulet. Kelopak matanya membuka dengan malas. "Sudah pagi?"
Gue menggeleng. "Pindah tidur di kasur."
Gladis melihat melewati bahu gue. Matanya langsung membulat begitu tahu mainan Akio bertebaran dimana-mana. Akio juga sedang duduk di dalam koper. Bukannya meneruskan beres-beres, dia malah sedang berceloteh sendiri sambil menunjuk-nunjuk gambar di buku cerita anak-anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race Track
Fanfiction[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita sudah menikah hampir empat tahun. -- Jeffrey Esa Kurniawan Jeffrey itu egois. Aku sudah usaha keras biki...