18| Last Lap

321 23 2
                                    

Orisha Gladis Alaia

Kami bertiga; aku, Jeffrey, dan Akio, mulai menikmati hidup bersama pindah dari satu negara ke negara lain dalam waktu dekat. Kami dapat beradaptasi dengan baik, termasuk dalam hal makanan, yang mana merupakan kebutuhan dasar hidup manusia. Sejauh ini Akio tidak pernah mencari nasi, beda denganku yang masih suka masak sendiri demi mendapat nuansa serupa cita-rasa makanan Indonesia, dan juga Jeffrey yang acap kali mencari sambal untuk menemani dalam beberapa kesempatan.

Oh ya, tempe. Jeffrey tidak berhasil mencuci otak putra kami untuk melupakan tempe. Akio tetap meminta asupan tempe minimal tiga kali dalam seminggu.

Selain makanan, masalah adaptasi berikutnya adalah berdamai dengan awak media. Aku yang dulu selalu kukuh tidak mau Akio mendapat spotlight, mulai luluh. Asalkan bukan untuk kepentingan komersial, seperti misalnya Akio dijadikan bintang iklan atau untuk promosi sponsor, kami sebagai orang tuanya tidak ambil pusing. Sebagian kehidupan pribadi kami pun mulai terkuak. Syukurnya, tidak ada berita miring atau ujaran kebencian yang terdengar parah.

Hidup di paddock area itu berarti harus bisa menyesuaikan diri tinggal di truk dengan segala keterbatasannya. Karena truk tempat tinggal kami juga merupakan tempat kerja Jeffrey, aku minta batasan bahwa kamar utama dijadikan area eksklusif, artinya hanya aku, Jeffrey, dan Akio yang boleh masuk. Lalu, Akio sudah bisa tidur sendiri, di kamar dengan twin bed. Terkadang Om Adam tidur juga di sana. Beberapa barang Akio menghiasi ruang tengah secara permanen, contohnya boneka, robot-robotan, dan mainan lainnya.

Jeffrey masih menyebalkan dan akan selalu menyebalkan. Kecemburuannya pada beberapa orang cukup menggelitik perutku, membuatku tertawa karena sesungguhnya dia tidak perlu khawatir. Namun, Jeffrey bersikeras agar aku tidak terlalu dekat dengan si A, si B, si C, dan lain-lain. Katanya, pembalap itu hidupnya ya kebanyakan dihabiskan di paddock area, ketemunya sama orang yang itu-itu saja. Dengan menjadi istri Jeffrey, tidak berarti aku aman dari incaran orang lain. Bukan rahasia lagi bahwa ketika satu pasangan putus, si wanita akan berkencan dengan pembalap lainnya.

"Aku bukan racer chaser. Aku nggak akan cari pembalap lain selain kamu. Yah, lagian, dulu aku nggak nyari kamu, kan? Kamu aja yang tiba-tiba nongol di hidup aku."

Setelah aku berkata seperti itu, Jeffrey tertawa lebar, jenis tawa yang menyeramkan menurutku. Aku biarkan dia menggila dengan isi pikirnya. Aku baru bisa merasa tenang ketika Jeffrey mulai mengurangi sedikit tensinya tiap aku berinteraksi dengan teman-teman baru di paddock area.

Perjalanan karier Jeffrey seperti sirkuit, memiliki tantangan yang berbeda di tiap section. Ada lintasan yang lurus-lurus saja, ada lintasan yang punya banyak tikungan, ada turunan, ada blindspot. Meskipun sudah berusaha keras mempersiapkan diri, selalu ada faktor kejutan yang bisa tiba-tiba muncul.

Jeffrey berhasil naik podium beberapa kali. Beberapa kali dia harus puas hanya mendapat pole position. Tak jarang ia juga dikalahkan oleh pembalap lain. Menurutnya, dibandingkan menggeber motor berat sejauh ribuan meter dengan kecepatan menggila, ternyata pertarungan psikis antar pembalap justru lebih menyebalkan. Tidak begitu berat, namun bikin gatal.

Sebagai seorang istri, aku berusaha menyenangkan hatinya dengan berbagai cara. Tiap Jeffrey pergi untuk free practice, aku akan menyiapkan makanan favoritnya. Sebelum babak kualifikasi dimulai, aku akan memberikan ciuman pemberi semangat untuknya. Tiba hari race berlangsung, aku menemaninya menyiapkan diri di starting grid, lalu naik ke tribun penonton ketika lintasan mulai disterilkan, dan begitu pertandingan selesai aku buru-buru turun untuk menyambutnya di garasi.

Apapun hasilnya, aku akan memberi Jeffrey reward. Anggaplah itu sebagai hadiah karena dia sudah berusaha keras mencapai targetnya sendiri. Bagi aku dan Akio, Jeffrey selalu menjadi pemenang.

Race TrackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang