Jeffrey Esa Kurniawan
Kata Gladis, gue harus mau berinisiatif. Kalau benar-benar ingin dekat dengan Akio, gue harus mau melangkah tanpa diminta. Gladis menyarankan agar gue mengajak Akio bermain lebih dulu. Jangan menunggu diajak bermain oleh Akio.
Bocah dua tahun, main apa sih? Gue kan bingung. Mau gue ajak nonton kartun, tapi kata Gladis lebih baik Akio diajak bermain permainan yang menggunakan fisik.
"Kamu lihat tadi Akio asyik mainan helm Luigi, kan? Coba deh kamu ajak main cilukba Akio pakai helm kamu, atau main apa pun. Aku mau siap-siap goreng tempe dulu."
Mainan helm? Apa serunya? Meskipun ragu, gue tetap mencoba saran Gladis. Gue ambil helm dari rak, lalu memanggil Akio. Melihat benda yang gue bawa, Akio langsung memanjat naik ke sofa dan duduk di sebelah gue.
"Ini namanya helm."
"Nya Om Igi." Jari bantat Akio menunjuk-nunjuk helm gue.
"Ini punya Papa. Punya Om Luigi kan tadi ada di rumahnya."
"Nya Papa?"
Yee, si bocil nggak percaya. Dia belum tahu aja kalau desain helm tiap pembalap itu dibuat beda-beda. Itu artinya, hanya ada satu helm seperti ini di muka bumi, yang original.
"Iya, punya Papa."
"Au!"
Gue menyerahkan helm gue pada Akio. Dia langsung memeluknya di depan perut, persis sama posisinya dengan saat tadi memeluk helm Luigi.
Gue nggak ngerti. Apa asyiknya meluk helm, sih? Apakah fungsi helm bagi Akio hanya untuk dipeluk seperti boneka?
"Cara pakai helm bukan gitu," ucap gue sambil mengambil helm dari tangan Akio dan memasangnya di kepala. "Nih, kayak gini. Helm itu keras, bisa melindungi kepala dari benturan."
"Akio! Akio!" Si bocil berdiri di sofa dan berusaha melepas helm dari kepala gue.
Takut Akio jatuh, gue membawanya turun ke lantai. Gue ikut duduk gelosoran. Gue melepas helm dan menyodorkannya pada Akio. Namun, belum sempat kedua tangan Akio menyentuh, langsung gue tarik lagi.
"Coba, ini namanya apa dulu?"
"Apah?"
"Helm."
Akio cuma mengangguk. Matanya terkunci pada benda di tangan gue. Lagi-lagi, dia berusaha merebut.
"Tiruin dulu Papa ngomong apa. Nanti Papa kasih. Coba, ngomong he-lem."
"Lem."
"He-lem."
"Ee-lem."
"He-lem."
"Eeee-lem."
Gue tertawa. Akio berusaha keras menirukan bunyi yang gue contohkan. Tak mau buru-buru membuat Akio puas, gue memberikan quiz dadakan untuk Akio.
"Bunyinya kambing gimana?"
"Embeee...."
"Kalau sapi?"
"Embeee...."
"Itu kambing. Kalau sapi 'moo'."
"Moo...."
"Kucing. Kucing gimana?"
"Meong."
"Gimana? Papa nggak dengar."
"MEONG MEONG MEONG."
"Itu mah kucing garong, pakai teriak-teriak."
"Papa Jeffrey, jangan nakalin Akio!" Gladis berteriak memberi peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race Track
Fanfiction[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita sudah menikah hampir empat tahun. -- Jeffrey Esa Kurniawan Jeffrey itu egois. Aku sudah usaha keras biki...