Orisha Gladis Alaia
Aku tidak tahu Jeffrey gusar padaku karena apa. Dia terus menekanku, mengatakan bahwa aku tidur sambil menangis. Sesungguhnya, aku tidak tahu. Kalau menangis sebelum tidur, malam kemarin memang aku lakukan. Namun aku tidak ingat dengan malam-malam lainnya.
Kata Jeffrey juga, pernyataan itu ia dengar dari mulut Akio. Akio tentu tidak berbohong. Bahkan, saking khawatirnya Akio padaku, dia sampai tak tega membangunkanku dan memilih sarapan sereal sendiri.
Tunggu.
Kalau begitu, sejak hari terakhir di Qatar, kemungkinan besar Akio melihatku menangis sambil tidur. Ugh, apa Akio benar-benar mengira aku menangis karena kesakitan?
Aku tidak bisa membalas ucapan Jeffrey karena aku benar-benar tidak tahu. Akhirnya ia melepaskan cekalannya pada tanganku. Jeffrey balik badan, seperti tak mau memandangku. Kesempatan itu aku pakai untuk kabur ke kamar mandi.
Ketika aku sedang sikat gigi, kudengar suara benda tumpul membentur dinding, diikuti makian kesal. Selang beberapa lama Akio mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi sambil memanggilku panik. Segera aku membuka pintu dan kulihat tubuhnya sedikit bergetar.
"Papa mayah."
Aku buru-buru berkumur, menghilangkan busa di mulut. Kusuruh Akio menunggu di kamar mandi. Memang bukan tempat berlindung yang baik, tapi aku tidak ingin Akio melihat kondisi berantakan Jeffrey saat ini.
Well, aku pernah melihat Jeffrey lepas kendali. Satu kali. Saat itu ia marah pada dirinya sendirinya karena aku keguguran. Percaya lah, Jeffrey terlihat benar-benar berbeda, tidak ada lagi aura ceria dan jahil yang tersisa.
"Jeffrey," panggilku hati-hati.
Dia tidak menoleh, betah memunggungiku. Justru kepalanya tertunduk semakin dalam. Kening Jeffrey beradu dengan dinding.
"Jeffrey, jangan marah lagi ya."
Aku mendekat. Kutepuk lembut punggungnya. Baru lah Jeffrey mau balik memandangku.
"Kamu sakit karena aku."
"Aku nggak sakit." Buku-buku jari tangan kanan Jeffrey memerah. Kuraih tangannya dan kuusap jemarinya. "Jangan sakitin diri kamu sendiri."
"Ini nggak seberapa dibanding sakit yang kamu rasakan."
"Nggak, Jeffrey, nggak." Aku merengkuh tubuh Jeffrey. Kupeluk sambil kutepuk-tepuk punggungnya. "Aku cuma sedih, nggak sakit. Ya? Jangan gini, Jeffrey."
"Maaf," lirih Jeffrey di puncak kepalaku. "Maaf, Shasha."
Kami saling berpelukan. Tidak ada pembicaraan lagi, aku dan Jeffrey berbagi kepedihan dalam hening. Untuk beberapa saat, aku merasakan bahu Jeffrey bergetar ringan menahan tangis. Aku tahu dia terlalu sombong untuk menunjukkan air matanya di depanku, jadi kubiarkan ia menenangkan diri sebelum melepas pelukan.
"Lihat tangan kamu," ucapku meraih tangannya.
Lukanya tidak parah. Hanya saja, aku yakin pasti sebentar lagi akan muncul lebam dan terasa pegal. Aku berdoa semoga pertandingan Jeffrey tidak terpengaruh oleh luka kecil ini nantinya.
"Di sini nggak ada es batu," kataku sambil menariknya duduk di pinggir kasur. "Aku telepon dulu ke resepsionis."
Setelah rampung menelepon minta dibawakan alat kompres sekaligus sarapan, aku baru ingat akan keberadaan Akio. Dia masih di kamar mandi, menuruti perintahku tadi. Aku bergegas menyusulnya. Betul saja, Akio menungguku menjemputnya sambil berjongkok memeluk boneka panda.
"Sini, Akio."
Aku bawa Akio masuk dalam pelukan. Kuciumi rambutnya sambil menahan iba. Kasihan. Ini pertama kalinya Akio melihat Jeffrey bertindak kasar, meskipun hanya dalam bentuk memukul dinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race Track
Fanfiction[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita sudah menikah hampir empat tahun. -- Jeffrey Esa Kurniawan Jeffrey itu egois. Aku sudah usaha keras biki...