10| Cold War

123 15 0
                                    

Orisha Gladis Alaia

"Panda aaa.... Nyam, nyam."

Celotehan-celotehan bernada ceria mengetuk gendang telingaku. Aku membuka mata. Pemandangan Akio sedang pura-pura menyuapi boneka panda semangkuk sereal langsung tertangkap netra.

"Akio, sudah bangun?"

Akio mengangguk. Dia turun dari kasur, meninggalkan mangkuk dan si panda begitu saja. Dalam hati aku was-was, takutnya isi mangkuk itu tumpah. Untung kekhawatiranku tak menjadi kenyataan.

"Pagi, Mama."

"Pagi, Akio Sayang," sapaku sambil mencium keningnya tiga kali.

Semalam, aku memutuskan tidur di kamar yang lebih kecil berdua saja dengan Akio. Aku tidak peduli pada cara Jeffrey ngambek. Aku juga tidak mudah luluh pada permintaannya untuk tidur berdua. Entah bagaimana Jeffrey semalam tidur.

"Akio kok makan sereal di kasur."

"Nunggu Mama."

Aku tersenyum. Lagi, aku merunduk dan menciumi wajah Akio dengan sayang. Anakku memberi respon dengan tawanya yang renyah.

Aku meraih ponsel dan melihat jam. Mataku langsung membulat. Gawat, rupanya sudah pukul sepuluh. Aku terlambat bangun. Pantas saja Akio kelaparan dan mencari sereal.

Jangan tanya bagaimana Akio bisa menyiapkan sereal sendiri. Aku mengajari Akio begitu sejak usianya delapan belas bulan. Asal aku menyiapkan peralatan makan dan kotak sereal serta susu di rak bagian bawah agar ia bisa menjangkaunya, Akio pasti bisa menyiapkan makanan sendiri.

"Akio nggak makan sama Papa?"

Akio menggeleng. "Papa ndak ada." Akio menunjuk ke kasur sebelah, tempatnya berbaring semalam. "Akio mam ama panda."

Papa nggak ada? Apa maksudnya?

Aku mengajak Akio untuk makan di luar kamar. Setelah mendudukkan Akio di kursi meja makan, aku berlalu ke tiap penjuru ruangan. Benar, Jeffrey tidak terlihat dimana-mana.

Aku tidak berpikir aneh-aneh. Siang begini, Jeffrey pasti sedang bekerja. Wajar kalau dia sudah tidak berada di rumah.

Seketika, aku teringat dengan ucapan Om Adam kemarin. Begitu pertandingan selesai, pihak logistik akan segera membenahi semua hal untuk berpindah ke negara berikutnya. Termasuk halnya dengan motorhome yang kami tempati ini. Aku memutuskan untuk segera bersiap-siap. Apalagi barang-barang Akio tidak bisa dibilang sedikit.

Bel rumah berbunyi kala aku sedang memasukkan camilan Akio ke suatu tas besar. Kalau itu Jeffrey, tentu dia tidak akan menekan bel. Aku buru-buru berdiri, tak ingin membuat sang tamu menunggu.

"Steven?"

"Hai, Gladis," Steven mengusap tengkuknya dengan rikuh. "Ehm, untuk packing, apa ada sesuatu yang bisa aku bantu? Mobil yang akan membawa kalian ke bandara sudah siap di tempat parkir."

Mataku melotot. Apa-apaan ini? Jeffrey tidak memberitahuku bahwa jadwal penerbangan sedekat ini.

"Dimana Jeffrey?"

"Dia sedang ada urusan."

"Urusan?"

"Ngh, itu... Urusan dengan Adam."

Bohong. Jeffrey pasti sedang menghindariku. Ugh, kenapa aku bisa menikahi suami berjiwa anak-anak?

"Jadwal pesawatnya, jam berapa?"

"Penerbangan tiga jam lagi."

Jeffrey, sialan! Aku memaki sepuasnya dalam hati, hal yang sebisa mungkin tidak aku lakukan selama ini. Keningku berdenyut kuat. Berusaha meredam amarah, aku memejamkan kedua mata dan menarik napas panjang dalam-dalam. Bahasa tubuhku membuat Steven khawatir.

Race TrackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang