17| Yang Kami Butuhkan

151 19 5
                                    

Orisha Gladis Alaia

"Jadi, beneran cinta, kan?"

"Iya, Shashayang. Aku cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu."

Bukan tanpa alasan aku menanyakan keseriusan Jeffrey dalam mencintaiku. Dengar saja ucapannya tadi. Padanan sukanya padaku adalah sukanya pada sambal terasi. Bisa saja cintanya padaku sama dengan cintanya pada dunia racing.

"Kamu masih nggak percaya ya?" Tanyanya dengan nada terluka.

Aku membalas tatapan mata Jeffrey. Seketika aku ikut terluka. Bukankah pasangan selain berbagi suka juga berbagi duka?

Mengesampingkan kelakuan Jeffrey yang membuat kesal dan bikin aku mengurut dada, sesungguhnya dia punya potensi untuk dicintai dengan tulus. Ketika aku dan Jeffrey terlibat pertengkaran dan tidak aja jalinan komunikasi, Jeffrey pasti menanyakan kabarku pada Mbak Silvi atau Kak Ian. Seperti kemarin pun, dia juga mengutus Steven untuk mengurusku dan Akio. Mengesalkan memang, karena dia tidak bisa mengesampingkan ego, tapi bukan berarti ia tidak perhatian.

Lalu, pagi ini. Ugh, mengingatnya saja aku sudah malu. Penampilanku pasti sangat kacau dan acak-acakan, lebih parah ketimbang saat dulu aku sedang mengejan berusaha mengeluarkan Akio dari perut. Jeffrey mengurusku dengan baik tanpa protes.

Bagaimana mungkin dia tidak mencintaiku?

Aku memeluk Jeffrey. Tak peduli lagi pada rasa malu karena saat ini kita sedang sama-sama polos.

"Aku sayang kamu."

Aku jarang mengucapkannya, terlebih mengucapkannya lebih dulu sebelum Jeffrey yang melakukan. Tidak seperti Jeffrey yang mudah sekali mengumbar kata sayang dan cinta. Bukan berarti aku tidak sayang. Hanya saja, itu bukan gayaku, bukan bahasa cintaku.

Jeffrey balas memelukku. Rasanya nyaman, namun juga tidak nyaman. Posisi pelukan kami sangat aneh. Mengingat kadang fantasi Jeffrey bisa saja liar, ini pertama kalinya kami berpelukan di dalam air.

"Aku juga sayang kamu," ucapnya tulus. Dia mengecup kepalaku berulang kali.

"Kamu... juga sayang Akio, kan?"

"Iya lah! Oh my god, Shasha. Jangan-jangan kamu mikirnya aku cuma sayang kamu tapi nggak sayang Akio?"

Aku mengusap tengkuk rikuh. "Ehm, bukan gitu, sih. Soalnya... kamu sering banget bilang sayang sama aku, tapi sama Akio kayaknya nggak pernah."

"... awkward."

"...."

"Aneh ya?"

"Kenapa awkward?"

"Karena belum dekat aja mungkin. Aku juga kan jarang ketemu Akio. Terus, Akio selalu carinya kamu, bukan aku. Dulu, kalau aku lagi dekat sama kamu, dia selalu interupsi berasa aku ini mau monopoli ibunya. Dia kayak punya dendam kesumat sama aku."

Aku tergelak. Kini aku kembali bersandar nyaman di dada Jeffrey. Aku bermain dengan gelembung sabun yang sudah mulai menipis.

"Mungkin, deep down inside, Akio juga awkward sama kamu." Aku mendongak dan tersenyum padanya. "Sering-sering bilang sayang sama Akio mumpung dia masih kecil. Biar terbiasa. Kalau Akio sudah gede, nanti malah keburu makin awkward."

"Kamu bisa lho, nggak usah mikirin Akio melulu."

Percakapan berikutnya adalah tanggapan Jeffrey terhadap caraku menjalani hidup. Dia tidak ingin pekerjaan mengurus suami dan anak menjadi sekadar keharusan untukku. Jeffrey bilang, aku tidak akan bahagia dengan pola pikir seperti itu. Uang yang diberikan Jeffrey, black card-nya yang kupegang, bukan sebagai upah atas kerja kerasku melakukan itu semua. Jeffrey memberikannya karena itu memang hakku sebagai seorang istri. Andaikan aku lelah mengurus Akio dan butuh merekrut nanny, tidak apa-apa. Hal itu tidak akan mengurangi nilaiku di matanya sebagai seorang ibu.

Race TrackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang