7| Biscuit

162 16 0
                                    

Orisha Gladis Alaia

"Kamu yakin nggak apa-apa?"

"Percaya sama aku. Dulu kamu kan juga pernah masuk ke area pit box. Malah, waktu itu aku sudah mau race. Sekarang belum ada race, pasti di sana nggak terlalu sibuk."

"Gitu ya?"

"Iya."

"Oke, deh."

Jeffrey berhenti sejenak untuk memandangi makanan yang terhidang di atas meja. Berjejer rapi siap dimasukkan ke keranjang. "Ini yang terakhir? Kok kayaknya lebih dari tiga puluh buah?"

"Adonan tepung satu setengah kilogram, ternyata bisa untuk bikin biskuit sampai tujuh puluh lebih keping."

"Wow! Capek nggak?"

"Nggak. Aku bawa enjoy aja. Lagain aku kan dibantu Akio."

"Ini nanti satu orang satu? Punya aku mana?"

Kebiasaan. Jeffrey tak mau kalah.

"Punya kita bertiga sudah aku simpan sendiri di lemari. Ini nanti masing-masing orang satu. Sisanya terserah Akio mau kasih ke siapa."

Jeffrey meletakkan bungkusan terakhir ke dalam keranjang kecil berwarna oranye, mirip keranjang belanja di mall. Ia memanggil Akio yang tengah asyik menata teman-temannya di atas sofa. Mulai dari boneka ukuran sekecil bola tenis hingga sebesar helm Jeffrey ada semua di sana.

"Ayo kita siap-siap pergi menyapa uncle and aunty."

"Uti? Mana uti?"

Aku terkekeh. "Maksud Papa tadi, Om dan Tante. Eyang uti nggak ada di sini." Aku berjongkok dan membenahi tali tas di bahu Akio. "Akio mau bantu Mama bawa keranjang? Kita bagi-bagi biskuit ke temen kerja Papa."

Akio mengangguk semangat.

Seharian kemarin aku dan Akio bekerja sama mulai dari membuat biskuit hingga mengemasnya. Awalnya, aku kira aku tidak punya cukup waktu untuk mencetak stiker bergambar foto keluarga trio Kurniawan dengan ucapan "Semangat" di bawahnya. Untuk berjaga-jaga aku juga membuat stiker lain berisi informasi bahwa biskuit buatan kami menggunakan tepung gluten free, less sugar, dan total kalori 120 kkal. Untungnya kemarin Jeffrey pulang terlambat. Aku dan Akio jadi punya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan semuanya.

Akio membawa keranjang kecil di tangan kirinya. Ia berjalan di depan bersisian dengan Jeffrey. Melihat mereka begitu akrab, aku diam-diam mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel.

Perjalanan yang kami tempuh tidak terlalu jauh. Motorhome Jeffrey berada tepat berseberangan dengan dua buah truk yang difungsikan sebagai kantor. Desainnya dibuat teduh, jalan di antara kedua truk dipasangi tenda, bahkan sebenarnya ada ruang konferensi terbuka di atas truk itu.

Di belakang truk, langsung tersedia akses pintu belakang menuju garasi atau pit box. Garasi milik tim pabrikan ini dipisahkan dengan sekat menjadi dua bagian, corner untuk Jeffrey dan corner untuk Luigi. Kami belok kanan, menuju area kerja milik Jeffrey.

Rupanya ada Om Adam di sana. Om Adam menyambut kedatangan kami dengan heboh. Begitu melihat isi keranjang yang dibawa Akio, Om Adam langsung tahu maksud kedatangan kami ke sana.

Pembagian biskuit dimulai. Akio yang melakukannya. Dengan berani Akio berjalan dan menyapa setiap orang di sana. Dia juga ingat pesanku untuk mengatakan kalimat: "Semangat, Om, Tante. Terima kasih sudah jaga Papa." Akio tentu mengucapkannya dengan gaya imut andalannya.

Rekan kerja Jeffrey memberi respon yang hangat. Awalnya mereka bingung dengan kalimat Akio, aku dan Jeffrey tidak lelah untuk menerjemahkannya. Om Adam pun membantu.

Race TrackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang