Jeffrey Esa Kurniawan
Perjanjian pukul empat sore dan gue telah berdiri di titik temu lima belas menit lebih awal. Terhitung sudah dua kali malam gue lewati tanpa cuddle manja sama Gladis. Tentu sekarang gue sudah menggeliat tak betah menahan rindu. Ingin segera bertemu dan merasakan hangat tubuhnya lagi di pelukan.
Jam besar di seberang air mancur sudah menunjukkan pukul empat tepat. Gue makin gelisah. Berkali-kali gue lihat pantulan wajah di layar HP, memastikan diri tampil tampan di depan Gladis.
Pertemuan kali ini bernama kencan. Tentu gue tidak boleh mengabaikan kode etik dalam berkencan. Tampil memukau hanya salah satunya.
"Jeffrey Esa Kurniawan?"
HP gue hampir nyemplung ke kolam. Untung refleks tangan gue bagus. Gue berdeham, memasukkan ponsel ke dalam saku dengan gaya cool, dan balik badan.
Di depan sana, Gladis berdiri dalam jarak dua meter. Hal yang membuat gue kaget adalah penampilannya yang berani. Berani, dalam tanda kutip.
Gosh! Dengan celana legging hitam ketat dan atasan crop tee berwarna serupa plus jaket denim, dia terlihat mempesona. Andaikan saja Gladis tidak mengenakan outfit yang sengaja matching dengan Akio, tidak ada yang menyangka bahwa Gladis adalah ibu dari anak satu.
Tapi, kembaran gitu, lucu juga. Berasa lagi lihat fashion show ibu dan anak. Mereka bakal jadi kontestan paling gaul dan paling juara di hati gue.
Melihat dandanan itu, seketika rasa percaya diri gue dibanting jatuh. Gue menunduk, memerhatikan pakaian gue yang kelewat biasa saja. Shit, kalau gue benar-benar serius menanggapi tema "kencan" usulan Gladis, gue tidak akan merasa seperti upik labu saat ini.
"Shasha, maaf baju aku biasa aja. Aku kira...."
"Apa aku datang terlambat?" Gladis memotong ucapan gue. Ia tersenyum sopan, bikin gue sukses merasa jauh darinya. "Maaf, aku kemari membawa putraku. Dia cukup sulit diajak kerja sama untuk bersiap-siap. Do you mind if in this our first meeting I bring my son?"
Gue cengo. Hah? Maksudnya? First meeting? Gladis lagi role playing nih ceritanya?
"Papa," tidak mengerti alur permainan sang ibu, Akio melambai pada gue, papanya.
"Akio, kok gitu?" Ucapan Gladis membuat Akio mendongak. Akio bingung. "Akio sudah dekat sama Jeffrey ya, sampai ngira dia itu Papa? Okay, Mama maafin. Akio boleh panggil dia Papa."
"Papa?" Akio menunjuk ke arah gue, namun matanya terkunci pada Gladis. Dia seolah ingin memastikan apakah gue bener-bener ayahnya.
"Iya, tapi...," Gladis melirik gue. Dia malah membuang muka sambil mengusap hidungnya gugup. Gue lihat wajahnya merona. "He is not your father... yet."
She pretends to be chic and bold. But, her cuteness can't deceive my eyes. God, my wife is really playful.
Untung Akio tidak mengerti bahasa yang diucapkan Gladis. Bahasa Inggris yang Gladis ucapkan sengaja ditujukan buat gue, untuk menyindir. Dengan Gladis berkata "Iya", Akio tampak lebih nyaman memanggil gue Papa. Jelas lah, gue ini Papa aslinya, yang jingkrak-jingkrak kesenangan sejak hasil testpack menunjukkan indikasi positif.
Dari sore hingga malam kami menghabiskan waktu bersama. Tidak seperti dandanannya yang cool abiez, Gladis selama berinteraksi dengan Akio menunjukkan sikap hangat dan keibuan seperti biasanya. Hanya dengan gue saja dia bertingkah tidak biasa. Bahkan, saat Akio kebelet minta ke toilet dan gue bersedia menemaninya, Gladis berterima kasih berlebihan. Kayak sama siapa aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Race Track
Fanfiction[lanjutan cerita keluarga Jeffrey dari universe #bcrush] Shasha itu nyebelin. Dia nggak ngerti kemauan gue sebagai laki tuh gimana. Padahal kita sudah menikah hampir empat tahun. -- Jeffrey Esa Kurniawan Jeffrey itu egois. Aku sudah usaha keras biki...