S2: 5. Keheningan

37 10 0
                                    

"Bagaimana kaki Anda? Apa masih sakit?" tanya Joong Ki menghampiri meja bundar di balkon.

Ha Na segera mematikan telepon dan menggeleng di tempat. "Sepertinya saya hanya terkilir biasa. Dan yeah ... sekarang sudah baik-baik saja. Omong-omong apa itu?"

Joong Ki terhenyak. Mengangkat tangannya yang menenteng bungkusan macaron. "Untuk teman. Hari ini dia berulang tahun."

Mata Ha Na membulat. "Oh, ya? Apa Anda berniat pergi malam ini?"

Joong Ki mengangkat bahu. "Sebenarnya tidak. Karena itu diluar jadwal. Saya hanya berniat menitipkannya ke teman saya yang lain."

Ha Na mengangguk paham. Segera membereskan barang-barangnya kemudian bangkit berdiri. "Kalau begitu, sepertinya kita bisa berangkat sekarang. Wali murid sudah menunggu."

Joong Ki mengangguk. Meraih jas yang tadinya ia sampirkan ke punggung kursi dan mengenakannya cepat.

***

"Yaa! Kau bercanda? Hanya sebungkus macaron? Song Joong Ki, apa kau gila?" desis Ae Ri di ujung kalimat. Berusaha menyembunyikan kekesalannya karena ada Ha Na yang berdiri tak jauh dari tempatnya berbincang dengan Song Joong Ki.

Joong Ki menghela napas malas. Pria itu balas menatap Ae Ri datar. "Itu lebih baik daripada aku tidak menitipkan sesuatu untuknya."

"Gerrard akan lebih senang jika kamu datang, alih-alih mengirimkan makanan kesukaannya seperti ini."

Joong Ki menyugar rambutnya malas. "Dengar aku, Lim Ae Ri. Aku benar-benar tidak memiliki waktu untuk itu. Cukup katakan saja kalau macaron ini dibungkus oleh Nona Eun. Maka dia akan lebih memikirkan soal wanita itu ketimbang diriku."

Mulut Ae Ri menganga tak habis pikir. "Kau ... cecunguk satu ini benar-benar."

Melirik arloji di pergelangan, Joong Ki segera pamit pergi karena setelah ini dirinya harus menemui wali murid bersama Choi Ha Na sebelum hari semakin gelap.

"Kalau begitu aku pergi dulu. Oh ya, kemejamu berantakan. Perbaiki kerahmu. Itu menggangguku, Nyonya," ujarnya seraya melambaikan tangan sekilas lalu berbalik pergi.

"YAA! SONG JOONG KI! KAU BILANG APA? NYONYA? YAA! BERHENTI, JOONG KI-YAA!"

Ha Na segera masuk ke dalam mobil bersamaan dengan Joong Ki. Wanita itu segera memasang sabuk pengaman dan sedikit dibuat bingung dengan reaksi Ae Ri barusan. "Sepertinya kalian sangat akrab," gumamnya melirik wajah Joong Ki yang tampak berusaha menahan senyum.

Mata Joong Ki mengerjap. Seketika ekspresinya berubah datar. "Tidak. Kami hanya kebetulan berteman karena dulu satu sekolah."

"Bagiku itu sudah cukup untuk disebut sahabat."

Joong Ki berdeham. Enggan melanjutkan percakapan karena netranya kini berfokus pada seorang wanita yang tengah duduk di halte bus tengah mengobrol serius dengan seorang pria.

"Guru Song? Lampunya sudah hijau."

Joong Ki tersentak. Pria itu buru-buru menekan pedal gas dan berusaha untuk tidak peduli dengan kejadian yang baru saja dia lihat.

Ponsel Ha Na bergetar. Wanita itu buru-buru mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang sedang berusaha menelponnya. "Yeoboseyo?"

"..."

"Ah, baik. Saya mengerti."

"..."

"Apa Bo Ra baik-baik saja sekarang?"

"..."

"Baik, terima kasih. Semoga lekas membaik."

Setelah satu dua kalimat, Ha Na menutup panggilan dan menoleh pada Joong Ki yang sedang menunggu penjelasan soal telepon barusan. Pasalnya, rumah yang sedang mereka tuju saat ini adalah rumah Kim Bo Ra.

"Sepertinya kita tidak bisa berkunjung malam ini, Guru Song. Orang tua Bo Ra harus pergi ke Busan karena nenek Bo Ra sedang sakit. Dan Bo Ra harus tinggal di rumah pamannya untuk sementara waktu."

Joong Ki mengangguk tanda mengerti. "Kalau begitu jadwal saya cukup luang malam ini."

Senyum samar terulas di wajah Ha Na. "Apa maksudnya, Anda sedang ingin mengajak say———"

"Guru Choi," potong Joong Ki saat itu juga.

"Ya?"

"Sepertinya saya harus menurunkan Anda di halte terdekat. Karena ada hal lain yang harus saya pastikan malam ini."

Mata Ha Na melebar. Wanita itu bergeming di tempat. "Ah, itu tidak masalah."

"Terima kasih. Dan maaf sebelumnya sudah merepotkan."

"Sama sekali bukan masalah."

***

"Apa yang kau lakukan di sini? Mencoba menguntitku?"

Park Jun menggeleng. Pria berjaket kulit itu hanya menatap So Min datar, lalu kembali fokus menatap jalanan di depan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.

"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya kebetulan bertemu denganmu."

Menghela napas samar, So Min menundukkan kepalanya gelisah. Sejak kejadian beberapa bulan lalu ketika Min Ji menceritakan kebenaran soal alasan Park Jun membawa lari uang mereka, wanita itu sedikit merasa bersalah karena memperlakukan Park Jun cukup buruk di masa lalu.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanya So Min akhirnya. Berusaha melupakan semua hal buruk di antara mereka.

Sudut bibir Park Jun terangkat sebelah. "Kenapa tiba-tiba kau penasaran soal itu?"

So Min mendesah singkat. "Jawab saja, sialan."

Park Jun terkekeh. Pria itu mendongak sejenak, lalu memutuskan untuk duduk di samping So Min hati-hati.

"Kau sama sekali tidak berubah. Masih kasar seperti dulu."

So Min berdecih malas.

"Ibuku baik. Jauh lebih baik karena Min Ji selalu datang menemaninya setiap malam."

Mata So Min kini sempurna memandang ke arah Park Jun yang tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. "Bagaimana denganmu?"

Alis Park Jun terangkat. Pria berambut cepak itu balas menatap So Min bingung. "Maaf?"

"Bagaimana kabarmu, bodoh."

Park Jun tertawa. "Seperti yang kau lihat, Nona. Aku baik-baik saja," katanya. "Tapi kenapa tiba-tiba peduli padaku?"

Wanita berambut hazel itu membuang muka. "Aku hanya merasa aneh karena melihatmu lebih kurus dari perempuan."

"Benarkah? Tapi yang kulihat, kau jauh lebih kurus dariku. Sepertinya kau sedang menghadapi masalah pelik."

So Min diam tidak menjawab. Pelik? Pelik apanya? Yang ada hanya perasaan kekanakan yang harus kusembunyikan.

"Tapi kau juga tambah cantik."

***

Bersambung

Fabs CaféTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang