Ishika memiringkan kepalanya ke kanan, matanya menatap soal-soal pada kertas diatas meja. Soal Bahasa Indonesia memang bukan keahliannya. Sejak sekolah dasar dirinya sudah mengalami kesulitan untuk teliti dalam menyusun kata dan kalimat. Entahlah, waktu itu perkembangan berbahasanya memang agak lambat dari anak SD pada umumnya. Mungkin itu yang membuat Ishika jadi pribadi yang pendiam sejak dirinya masih kecil.
Awalnya Ishika tidak mengerti dengan sistem pelajaran anak-anak di Indonesia, padahal bahasa yang mereka pakai sehari-hari saja sudah Bahasa Indonesia. Tetapi, tetap saja guru-guru di sekolah mengajari bahasa yang menurutnya sudah di ketahui oleh anak berusia 2 tahun. Ia pikir lebih baik menghilangkan pelajaran ini. Selain membuat pusing, pelajaran ini juga tidak membantunya sama sekali dalam berkomunikasi.
"Anjing!!"
"Mulutnya ih!"
Ishika menoleh kearah suara jeritan itu, teman sekelasnya baru saja menjeritkan nama hewan. Pria dengan seragam sekolah yang keluar dari celana dan tidak rapi itu lantas menutup mulut. Tangannya dengan cepat mendorong benda pipih yang dia pegang kedalam loker di bawah meja. Faktanya, ketika Ishika mengetahui kondisi mulut temannya yang tidak ada akhlak, barulah dirinya paham kenapa Bahasa Indonesia perlu dijadikan mata pelajaran.
Ishika hanya menyaksikan tingkah temannya. Ia sedikit terhibur dengan kondisi gelagapan yang ditunjukkan temannya itu. Bahkan jeritannya itu sukses membangunkan guru Bahasa Indonesia di depan kelas, yang dengan reflek melempar spidol sampai mengenai kepala anak laki-laki itu.
"Mulutmu Anwar! Main game online lagi kamu?!" Pak Faza langsung berdiri dan menghampiri Anwar.
"Maaf pak..., tadi saya keceplosan, gak sengaja Pak" Anwar memberikan jari dua kearah Pak Faza yang dibalas tatapan sinis. "Saya juga gak main game online kok"
"Mana ponsel kamu"
"Eh,, Anwar mana bawa ponsel, Pak"
Pak Faza memutar bola matanya jengkel. Ini tontonan yang asik bagi Ishika di sela pelajaran yang juga membosankan. Pak Faza merogoh-rogoh loker dibawah meja Anwar dan menemukan benda pipih berwarna hitam.
"Bukan ponselmu?"
"Iya pak, itu punya.. emmm.. Haris Pak!"
"Haris gak berangkat Anwar, dia sakit.."
Itu bukan suara Pak Faza, melainkan teman sebangkunya yang sedang menulis. Gadis bersambut ikal itu menjawab ucapan nyeleneh Anwar. Pak Faza menunggu alasan lain dari pembuat onar itu.
"Oh, punya Yudha Pak! Nahhh.. Yudha beneran suer pak!"
Teman sebangkunya lagi-lagi menghela napas berat, "Yudha gak punya smartphone, War. Dia itu masih pakai blackberry.., Ga usah banyak cing cong mending ngaku aja.."
Anwar berdecih dan menggaruk kepalanya. Pasti dirinya frustasi sekarang, sudah gagal push rank, duduk sama ketua kelas yang ceriwis, ditambah siang-siang kena hukum jemur. Karena Ishika tahu siapa Pak Faza itu. Dia tipe guru yang santai tapi gak segan buat menghukum muridnya ditengah lapangan siang bolong begini. Ishika yakin 99% Anwar akan di jemur nanti. 1% nya adalah mustahil.
"Jemuran sekarang! Ponsel kamu saya sita. Ambil nanti setelah kelas saya selesai di ruang guru..."
Dengan perasaan jengkel, Anwar keluar dari kelas, lalu berhenti melangkahkan kaki tatkala suara Pak Faza mengintrupsi kegiatannya.
"Kabur ke kantin, baru boleh ambil di Pelajaran saya berikutnya.. Kamu paham kan Anwar?"
Anwar mendelik dan menghela napas, "Iya Pak iyaaa.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terukir Cinta Dalam Sanjungan Kata
Teen FictionIshika bertemu dengan anak bernama Nevan di sekolah. Anak pindahan yang misterius dan ditakuti oleh siswa-siswi di sekolahnya. Alih-alih berpikir kalau Nevan menakutkan, Ishika lebih yakin lagi kalau anak baru itu hanya merasa kesepian. Bahkan tata...