Aku melihatnya.
Interaksi mereka seakan memberikan sebuah peringatan padaku.
Kebersamaan mereka...
Kehangatan mereka...
Semuanya terasa begitu tidak adil.
Aku berjalan masuk ke kelasku dan sengaja menabrak bahu milik Adrian ketika aku berjalan melewati mereka. Aku yakin mereka sedang memperhatikanku sekarang. Namun apa peduliku?
Aku menyimpan tas dimeja lalu duduk di kursi. Moodku benar-benar hancur saat ini. Namun aku teringat dengan ucapan ayahku, bahwa semua masalah itu tidak akan selesai dengan sendirinya.
Aku hanya menghela napas lalu menidurkan kepalaku di meja dengan beralaskan tas milikku. Aku memejamkan mata dan memikirkan konsekuensi terburuk dari semua ini.
Yang aku pikirkan adalah,
Antara pergi...
Atau ditinggalkan.
Pergi adalah pilihan terbaik karena aku tahu, aku tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta darinya.
Aku tidak bisa memaksakan perasaanku padanya. Karena aku sudah mengetahui akhir dari semua ini, yaitu penyesalan dan rasa sakit.
Pergi meninggalkannya terasa lebih baik dari pada dia yang meninggalkanku. Setidaknya aku tidak akan merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh seseorang yang aku cintai.
Aku harus segera jujur dengan perasaanku padanya, meskipun...
brak!
Aku terkejut karena lemparan tas dimeja, aku menatap tak suka pada Adrian yang tiba-tiba duduk di sampingku. Kita saling bertatapan selama beberapa menit, namun aku segera memalingkan wajahku untuk memutuskan kontak pandangan kita.
Setiap dekat dengannya jantungku selalu berdetak begitu cepat. Aku menyukai perasaan ini. Rasa sensasi yang selalu menginginkannya, adrenalin yang begitu kuat untuk segera mendapatkannya.
Hening dan rasa canggung memenuhi atmosfer kelas ini. Bahkan Heningnya malam mampu dikalahkan dengan kondisi seperti ini. Aku teringat kembali dengan tujuanku.
Aku menyiapkan nyaliku untuk memberitahu Adrian tentang perasaanku. Aku meneguk ludahku pelan, karena sungguh aku benar-benar merasa gugup saat ini. 'Ayolah Cass, kau bisa melakukannya!'
"Adrian."
"Cassie." Panggil kita bersamaan. Kita saling berhadapan satu sama lain, dengan cepat aku menundukkan kepalaku karena merasa gugup dan malu.
"Kau duluan."
"Kau duluan." Ucap kita bersamaan lagi. Terasa sangat awkward. Adrian dan aku saling pandang dan saling menutup mulut.
Aku menghembuskan napasku dengan berat, "Kau saja yang memulai."
Adrian memandangku, lalu menunduk dan tersenyum kecil, " Baiklah...,"
"Cassie, maafkan aku." Lanjutnya seraya memandangiku.
"Aku tahu, aku salah kemarin. Namun yang apa kau pikirkan mengenai aku dan Evelyn adalah sebuah kesalahan. Itupun salahku karena tidak pernah memberi tahumu. Sebenarnya...."
"Pagi anak-anak." Ucapan Adrian terhenti oleh sapaan guru yang akan mengajar kelasku hari ini. Aku melihat guru itu dengan tatapan kesal. Mengapa waktunya selalu tidak pas?
Aku masih kesal dengan itu, tiba-tiba Adrian membisikkan sesuatu ditelingaku, "If you defeated me in my game, i'll tell you the rest."
Setelah membisikkan itu, Adrian kembali duduk tegak dan kembali berfokus pada guru yang sedang mengajar di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Can't
Romance"A- Aku... Aku menyukaimu." "Apa? kau bercanda kan. Kita ini-" "Aku tahu... Aku tahu, maafkan aku." Akupun pergi meninggalkannya. Dengan kesedihan yang terus meluapkan air mataku, aku terus berlari. Menghindari sebuah kenyataan yang sangat menyakit...