Setibanya dirumah sakit, aku dengan Adrian langsung berlari menuju elevator.
Aku merengut kesal karena ruangan tempat ibuku dirawat ada di lantai lima rumah sakit.
Menekan tombol elevator dengan cepat dan penuh paksaan karena sudah beberapa kali aku menekannya, pintu elevator itu tetap tidak mau terbuka.
"Hei Cass tenanglah." Ucap Adrian menurunkan tanganku dari tombol elevator. Aku menatapnya dan dia hanya tersenyum padaku.
Melihat itu, akupun mencoba untuk menenangkan diriku. Aku mengatur napasku secara perlahan. Adrian yang melihat itu mengangguk lalu kembali tersenyum, "Good."
Aku benar-benar merasa canggung, karena sejak tiba disini saat kami sedang berada di parkiran rumah sakit aku mendiaminya, karena ingatanku tentang Adrian terulang kembali. Juga dengan dua orang yang sedang berpelukan di tempat parkir sekolah yang masih aku pikir itu adalah Adrian dengan Evelyn.
Kita menunggu pintu elevator beberapa saat namun pintu itu tetap tidak terbuka, Adrian kembali menekan tombol elevator itu dan akhirnya pintu itupun terbuka. Adrian mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu kedalam elevator, dia memang sangat sempurna. Gentle, perhatian, baik, dan tampan. Aku tidak akan pernah bisa menghilangkan perasaanku padanya.
Aku memasuki elevator itu yang ternyata kosong lalu diikuti oleh Adrian dibelakang. Setelah masuk, Adrian langsung menekan tombol lantai 5. Setelah pintu elevator tertutup, kecanggungan mulai menggerogoti diriku lagi. Disini begitu hening.
Antara panik dengan keadaan ibuku dan cemas dengan perasaanku.
Tentang Adrian dan Evelyn... dan masih banyak lagi.
Aku berdehem untuk menghilangkan rasa cangggungku, aku melihat kearah Adrian yang sedang memerhatikan pintu elevator yang menampilkan refleksi ku dengannya. Akupun ikut memerhatikan pintu elevator itu, sebenarnya aku sedang menatap mata Adrian melalui pantulan dari pintu elevator meski rupanya tidak jelas, tapi aku pun tahu bahwa Adrian juga sedang menatapku melalui pantulan itu.
Aku menundukkan kepala karena malu, atau salah tingkah mungkin? Semburat merah tergaris dengan indah dipipiku. Aku merasa malu karena menemukan fakta bahwa kita saling bertatapan melalui pantulan dari pintu elevator.
Maksudku itu sedikit romantis bukan?
"Jadi...ekhem, Adrian kamu kemana saja?" Tanyaku dengan sedikit berdehem untuk melegakan tenggorokanku sekaligus mengurangi rasa gengsiku. Aku bertanya padanya masih dengan menatap mata milik Adrian melalui pintu elevator.
Adrian memutuskan pandangannya dari pantulan pintu elevator dan menatap wajahku secara langsung, "What do you mean?" Ucapnya tidak mengerti dengan apa yang aku maksud. Aku langsung balas menatapnya sebelum menghembuskan nafasku kasar. "Kamu darimana saja Adrian? kamu tidak masuk ke kelas setelah bel istirahat."
"Aku..."
Ting!
Pintu elevator terbuka, menandakan bahwa aku dan Adrian telah sampai di lantai lima rumah sakit. Selalu saja seperti itu, saat Adrian hendak mengatakan sesuatu pasti saja ada yang mengganggu.
"Kita sebaiknya cepat menuju ruangan ibumu Cass." Ucap Adrian mengalihkan topik. Adrian sudah tidak menatapku lagi. Aku tahu dengan pasti bahwa Adrian sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
Dengan itu tanpa mempedulikan lagi Adrian, dengan langkah tergesa-gesa aku berlari menuju ruangan tempat dimana ibuku dirawat. Setelah melawati banyaknya pintu, akhirnya aku sampai di kamar tempat dimana ibuku dirawat.
Dengan tegang aku menatap dalam kearah pintu itu sambil menggenggam erat tali tas sekolahku. Memikirkan bagaimana keadaan ibuku membuatku semakin takut untuk masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Can't
Romance"A- Aku... Aku menyukaimu." "Apa? kau bercanda kan. Kita ini-" "Aku tahu... Aku tahu, maafkan aku." Akupun pergi meninggalkannya. Dengan kesedihan yang terus meluapkan air mataku, aku terus berlari. Menghindari sebuah kenyataan yang sangat menyakit...