Sembilan Belas

2.2K 382 68
                                    

Sakura selalu menyukai suasana malam hari sejak dulu. Entah mengapa rasanya begitu damai hanya dengan menatap langit malam. Dan malam ini bulan terlihat utuh. Bulat bersih tanpa awan sedikitpun.

Setiap kali memandangnya, bulan di Suna rasanya selalu lebih besar jika dibandingkan di Konoha. Begitu besar sampai rasanya terlalu dekat dan mudah digapai, padahal nyatanya begitu jauh. Sama seperti seseorang.

Bagaimana kabarnya?

Saat sedang sendiri dan melamun seperti ini, terkadang Sakura akan memikirkannya. Menghawatirkan keadaannya. Mendoakan kesehatannya. Dan mengharapkan kebahagiaan untuknya. Uchiha Sasuke tak pernah jauh dari pikirannya selama tiga tahun ini. Lelaki itu terus hidup di dalam hatinya.

Seberapun luka dan kebohongan yang lelaki itu lakukan di masa lalu, Sakura tentu saja tak menutup mata akan semua kebaikan Sasuke. Semua perhatian. Semua cinta. Lelaki itu mungkin mencintainya, hanya saja caranya yang salah.

Namun jika harus menukar semua yang ia rasakan saat ini dan kembali pada Uchiha Sasuke yang nyaman, Sakura menolak. Sasuke sudah tidak relevan dalam hidupnya. Lelaki itu saat ini seperti rembulan yang sedang ditatapnya. Indah, tetapi tidak untuk digapai.

kehidupnya sudah lebih baik dengan segala keadaannya sekarang. Semua kekurangan, kerja keras yang ia rasakan justru membuatnya merasa bahagia. Ini hidupnya, dan Sakura memilikinya sepenuhnya. Tanpa diatur, tanpa dikekang, tanpa terkurung. Ia bebas melakukan apapun sekarang, dan tak ada harga yang pantas untuk mengambilnya kembali dari dirinya.

"Sakura." Gaara memanggilnya dari dalam rumah pasangan Nara. Panda merah itu sedang berkunjung. Dan sepertinya ini adalah kedatangannya yang ke lima dalam bulan ini. "Sedang apa?"

Sakura melambaikan tangannya, meminta lelaki itu mendekat. Tentu saja tanpa diminta dua kali, Gaara berjalan mendekat, mensejajari Sakura.

"Bulannya cantik." Kata Sakura begitu Gaara di sampingnya. "Sayang kalau dilewatkan."

Gaara ikut mendongak, menatap bulan yang masih separuh jalan. "Entahlah. Bagiku terlihat sama saja." Dia lalu menatap Sakura. "Yang menganggap benda dengan cara sentimentil biasanya hanya orang-orang yang memiliki kenangan tentang benda itu. Dan aku tidak. Jadi bagiku bulannya sama saja. Hanya saja dia lebih, bulat." Keningnya sedikit berkerut.

Sakura terkikik geli. "Sepertinya begitu. Aku sendiri baru sadar ternyata aku orang yang cukup sentimen." Dia kini menoleh pada Gaara. "Ada apa mencariku, Gaara-san?"

"Ada yang ingin dibicarakan Temari-nee dan suaminya."

"Denganku?"

Gaara mengangguk. "Ayo masuk." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Sakura menerima uluran tangan itu dan mengikuti Gaara ke dalam.

***

Sakura memangku si kecil Shikadai yang masih terlihat segar, padahal ini sudah jauh dari waktunya biasa tidur. Bocah kecil itu duduk diam mempehatikan kedua orang tuanya berbicara di seberang meja. Sakura sesekali mencium pipi gembul anak itu. Gemas.

"Jadi bagaimana Sakura? Kau mau ikut dengan kami atau tetap di sini?" Temari mencoba bertanya padanya. "Tentu saja ini semua keputusanmu. Dan jika pun kau ingin tetap tinggal di sini, Sasori akan menjagamu seperti sebelum-sebelumnya. Kami hanya menawarkannya padamu." Tambahnya buru-buru.

Nara Shikamaru mendapat perintah untuk bekerja di kamp pusat, Konoha. Dan itu berarti seluruh keluarga kecil itu akan pindah kembali ke sana.

Sakura menatap pasangan Nara itu dalam diam.

Sudah banyak yang dilakukan mereka untuk Sakura selama ini. Bahkan setelah tinggal di sini selama lebih dari tiga tahun pun Sakura tetap saja merepotkan. Tapi Temari dan Shikamaru tetap peduli dan perhatian padanya. Padahal awalnya mereka hanya orang asing, namun kini mereka di sisinya seperti keluarga.

"Kami tidak memaksamu untuk ikut, Sakura-san. Semua terserah padamu. Jangan terlalu dipikirkan." Ucap Nara Shikamaru tegas.

Dulu Sakura selalu tak nyaman jika berbicara dengan lelaki Nara itu. Suaranya datar, tegas, dan kaku. tetapi sekarang, Sakura tau jika dibalik sikap tegas itu ada kepedulian pada orang sekitarnya.

Sakura menarik senyum tulus. "Aku tau, Nara-san." Dia kemudian menatap Temari. "Terima kasih sudah menghawatirkan aku, Nee-chan. Tapi sepertinya aku akan tetap tinggal di sini. Aku sudah terlalu nyaman di sini."

"Sungguh tidak apa-apa?" Temari kembali memastikan.

"Iya, Nee-chan. Walaupun aku pasti akan merindukan si kecil Shikadai." Sakura mencium dengan gemas pipi gembul bocah itu. Sikap cuek dan biasa saja bocah kecil itu justru membuat Sakura semakin semangat menciuminya.

Puas memberikan kecupan di seluruh wajah Shikadai, Sakura kembali menatap pasangan Nara itu. "Aku juga akan sesering mungkin mengunjungi kalian di Konoha. Jadi nee-chan tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja ditinggal di sini."

Temari menghela nafas lega. Dia menatap adik bungsunya yang sejak tadi tetap diam memperhatikan Sakura dan tersenyum jahil.

"Tapi mungkin ada orang lain yang tidak senang dengan kepindahanku ini. Aku jadi sedikit kasihan padanya."

"Siapa?" Tanya Sakura.

Temari tak menjawab hanya tersenyum geli menatap Sakura dan Gaara bergantian. Membuat adik bungusunya itu melotot marah padanya.

***

Sasuke berniat langsung pergi setelah memberikan pernghormatan kepada ayahnya. Tetapi Itachi menghadang langkahnya.

"Mau sampai kapan kau membuang keluargamu seperti ini?" Tanya Itachi sarkas.

Sasuke enggan menanggapi dan hanya memandangnya sinis.

"Ayah sudah tidak ada. Kenapa kau terus bersikap tak peduli pada keluargamu? Ibu selalu menangisimu dan menunggu kepulanganmu. Apa kau tidak sayang padanya?"

"Minggir."

"Tinggalah sebentar lagi di sini. Kau bahkan belum berbicara pada ibu sejak datang." Kakashi mencoba menahan Sasuke. Tetapi adiknya tetap bersikeras pergi dari sana.

Itachi menatap marah pada adiknya itu. Sudah lama ia memendam semuanya dan sekarang dia sudah sangat kesal karena sikap Sasuke.

"Apa sulitnya pulang ke rumah ini? Sampai tangisan ibu pun tak kau pedulikan, Sasuke! Apa ini karena pelacurmu itu? Haruno Sakura, benar kan?"

Itachi sudah mendengar tentang wanita bernama Haruno itu sejak lama. Tapi dia diam saja karena menganggapnya sebagai kesenangan sementara seorang pria. Toh Sasuke pada akhirnya tetap akan menikah dengan wanita yang dipilihkan keluarga. Jadi Itachi pikir tak akan masalah jika adiknya bermain-main sebentar. Namun ternyata Uchiha Sasuke justru terbuai sampai lupa segalanya.

Sasuke seketika langsung mencengkeram kerah jas Itachi. "Tutup mulutmu. Jangan pernah menyebutnya dengan kata-kata kotor itu." Geramnya.

Namun Itachi tak peduli. "Lalu apa sebutan yang cocok untuk wanita rendahan yang sudah membutakan adikku sampai tak mempedulikan keluarganya?"

Bugh!

Sasuke mendaratkan tinjunya ke wajah Itachi hingga lelaki yang lebih tua darinya itu jatuh tersungkur. "Jaga mulutmu, brengsek."

Bukannya bangun dan membalas, Itachi justru tertawa sinis. "Demi wanita itu kau memukulku, kakakmu sendiri? Kau memang sudah gila, Sasuke."

Sasuke mengepalkan kedua tangannya. Jika menuruti emosi, dia berniat memukul Itachi hingga lelaki itu terkapar tak berdaya. Namun dia masih menganggap lelaki yang lebih tua darinya itu sebagai keluarga. "Justru wanita itu yang membuatku tetap waras dengan semua kegilaan yang keluarga ini lakukan padaku." Ucap Sasuke tajam. "Tak ada seorang pun yang mempedulikanku. Bahkan kau sekalipun. Jadi berhenti bersikap seolah-olah kau kakak yang baik dan peduli padaku."

Setelah mengatakan itu Sasuke langsung pergi dari sana. Menjauh dari rumah yang selalu membuatnya sesak.

***

Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang