CHAPTER #45

10K 589 15
                                    

"If a man cannot be a
father to his own child,
there is nothing
worse than that."

Raphael's Dad

***

CHAPTER #45

***

MALAM ini, Jakarta macet seperti biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MALAM ini, Jakarta macet seperti biasanya. Raphael masih sibuk dengan urusan kantor meskipun hari pernikahannya sudah di depan mata, mewakili Papanya dia selalu berusaha tetap tenang untuk menghadapi para jajaran komisaris yang terlalu banyak menuntut ini dan itu. Kekuasaan kantor masih ada di tangan Papanya, itu sebabnya jika ingin Raphael akan melakukan akuisisi yang benar hingga memusatkan fokus pengembangan bisnis dengan cara yang lebih mature.

Ekspansi perusahaan di wilayah negara Eropa bukan hal mudah, itu yang menyebabkan Raphael sedikit menerima tekanan dari sana sini hingga dia meminta Papanya untuk membantunya kali ini, merger saham dengan Prav di perusahaan keluarga bukan lagi pembahasan yang paling penting, karena sepertinya kedua perusahaan akan digabungkan menjadi satu.

Pramono, ayah dari Prav mendiang pamannya sudah meninggal. Tentu saja, Pamannya itu bekerja lebih rapi dan teliti daripada dirinya, hal itu berhasil membantu Raphael mengembangkan apa yang sudah ada, dibantu oleh Papanya. Sementara adik bungsu Papanya, Hadi masih terdengar acuh dan enggan bergabung bersama keluarga.

Serangkaian meeting hari ini, berhasil membuat Raphael kelelahan. Melihat sikap anaknya yang apatis dan diam, Bramantyo tahu kalau Raphael membutuhkan space untuk dirinya sendiri. Terutama, anak lelakinya ini sudah tidak bisa lagi bertemu dengan calon istrinya dikarenakan tradisi-pingit.

Ya siapa sangka? Bramantyo bahkan tidak pernah ikut campur soal urusan percintaan anaknya-saat dia sendiri mengalami struggle bersama istrinya, Cassandra, Bramantyo terlalu yakin kalau Raphael tidak akan sama seperti dirinya.

"Raphael," Bramantyo memanggil anaknya yang masih memainkan ponsel.

"Apa, Pa? Pegel? Ya udah gantian aja, aku yang nyetir deh."

"Don't worry, Papa masih kuat kok. Kamu kira Papa sudah encok, Raphael?"

Raphael menoleh dan terkekeh pelan melihat ekspresi Papanya. "Dih, sensi amat. Kenapa sih? Udah ngerasa tua ya, Pa? I'm twenty six, mau dua puluh tujuh malah."

"Ya, terserah kamu. Papa jadi mau tanya, kepikiran aja soalnya."

Jalanan macet memang cocok ditemani dengan suatu percakapan, apa lagi kalau biar nggak ngantuk?

"Kenapa?"

"Kenapa harus Nana, Raf? I mean, bukan Papa menyalahkan atau judge, hanya saja.. Dari sekian perempuan yang pernah kamu kenal, dan datang ke hidup kamu-kayak Intan contohnya, kenapa bisa jadi Nana?"

Bumerang | TAMAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang