Bab 9

28.7K 1.8K 20
                                    

Hal pertama yang Rene lihat begitu kesadarannya kembali adalah langit-langit kamar berwarna putih yang nampak begitu asing.

Bukan hanya itu, bahkan suasana kamar yang begitu nyaman membuat Rene merasa tidak mengenal suasana kamar itu.

Mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Kening Rene mengernyit begitu menemukan ruangan tempat dia berbaring begitu luas. Seperti kamar hotel. Bahkan terlihat lebih nyaman. Berbeda jauh dari kontrakannya sebelumnya.

Hingga ketika dia berusaha beranjak. Terdengar sapaan dari arah pintu ruangan.

"Rene, kamu sudah sadar?"

Rene menoleh. Kedua matanya langsung memicing begitu menemukan Erland melangkah tergesa-gesa ke arahnya.

"Ya Tuhan. Syukurlah Rene, akhirnya kamu sadar."

Ada kelegaan di suara Erland. Bahkan tanpa ragu pria itu kian melangkah mendekat ke arahnya. Hingga membuat Rene menatapnya tak mengerti.

Namun semua itu berlangsung lama. Begitu Erland memeluk Rene erat. Mengecup kepala Rene berulang-ulang. Hingga membuat kedua mata Rene membola besar.

"Selama dua hari ini, kamu tidur terus. Belum lagi badan kamu yang terserang demam. Kamu berhasil buat aku benar-benar panik, Re."

Erland tidak peduli jika Rene akan memakinya setelah ini. Tapi dia benar-benar merasa lega bisa melihat Rene membuka kedua matanya lagi.

Ya tuhan. Erland bahkan melupakan tidurnya dua malam ini. Dia nyaris gila ketika Rene tak kunjung membuka mata. Sedang dokter mengatakan jika Rene hanya kelelahan, stress berlebihan, dan dehidrasi. Menyebabkan tubuhnya diserang demam karena asupan dalam dirinya kurang.

"Lepas!"

Senyum lega Erland langsung surut begitu Rene mendorong tubuhnya menjauh.

Bahkan Erland bisa melihat wajah kesal Rene yang menatapnya tajam. Membuat dia mengusap tengkuknya kikkuk.

"Terima kasih karena sudah menolong dan merawat saya. Tapi bukan berarti kamu bisa memeluk saya seenaknya."

"Maaf, Re. Aku terlalu excited."

"Ok, stop! Kamu gak usah ngomong apapun Erland. Saya juga gak mau dengar apapun dari bibir kamu. Ok! Jadi mending sekarang kamu minggir, saya mau turun!"

Erland menurut. Turun dari atas ranjang. Berdiri sedikit jauh. Memberikan ruang pada Rene seperti yang dia inginkan. Membiarkan Rene melakukan apa yang dia inginkan.

Tapi wajahnya berubah panik begitu melihat Rene melangkah ke arah pintu keluar. Bukan pintu toilet seperti yang dia pikirkan.

"Re, kamu mau kemana?"

"Bukan urusan kamu!"

"Re, please. Kamu lagi sakit, jadi jangan kemana-mana dulu. Kalau kamu butuh sesuatu kamu bisa mengatakannya padaku." Ucap Erland melangkah terburu-buru mengejar langkah Rene yang begitu gesit.

"Minggir, Erland!"

"Ok, fine! Ok! Jangan marah Rene, please!" Ucap Erland sedikit kelabakan karena Rene terlihat enggan dia sentuh.

"Sekarang kasih tahu aku kamu mau ke mana? Aku gak akan larang kamu. Tapi please, kasih tahu aku kamu mau ke mana."

Rene menatap Erland tajam. "Ke mana pun aku pergi. Itu gak ada urusannya sama kamu, Erland. Jadi lebih baik minggir!"

"Kamu bercanda, Re?" Tanya Erland mengerang frustasi. Dia bahkan mengusap wajahnya kasar. "Aku yang bawa kamu ke sini, Re. Gimana bisa kamu bilang begitu. Dan lihat tubuh kamu----"

"Jangan sentuh aku!"

Erland berjengkit kaget begitu mendengar teriakan Rene. Tubuhnya bahkan langsung mundur beberapa langkah.

Sedang Rene. Dia langsung mengatupkan mulutnya rapat. Dia kelepasan. Bahkan sangking kesalnya dia menyebut dirinya aku, bukan lagi saya seperti biasa.

Sialan! Erland sialan! Maki dalam hati Rene.

Tanpa kata. Rene langsung berlalu begitu saja. Melewati Erland yang kini masih mematung di tempatnya. Cukup terkejut dengan teriakan Rene.

Mungkin selama ini Erland mengenal Rene sebagai wanita yang anggun dan lemah lembut. Tidak pernah berbicara kasar juga berteriak. Tapi pagi ini, Erland di kejutkan dengan Rene yang meneriaki dirinya hanya karena menyentuh lengannya.

Oh good. Terlalu banyak hal yang merubah wanita itu. Sekeras apa kehidupan yang dia jalani selama ini? Kenapa Rene bisa berubah se-drastis itu?

"Re, tunggu!"

Rasanya Rene ingin mengumpat kuat begitu Erland kembali menghadang jalannya. Bahkan pria itu kini berdiri di depan tangga. Tidak memberikan ruang kepada Rene untuk lewat.

"Minggir, Erland!"

"Nggak!" Geleng Erland tegas. Kedua tanganya pun terlentang. Menghadang Rene agar tidak pergi.

"Aku nggak akan biarin kamu pergi, Rene! Dan Satu hal yang harus kamu tahu! Aku yang bawa kamu ke sini. Dan kamu nggak bisa seenaknya keluar dari rumah ini tanpa seizin dariku."

"Apa kamu gila?"

"Ya, terserah kamu mau mengatakan apa, Re. Tapi yang pasti, aku nggak akan pernah biarin kamu pergi dari rumah ini begitu saja."

Rene menggeleng tak habis pikir. Bibirnya pun tersenyum kecut dengan wajah menahan geram.

"Saya nggak butuh izin kamu untuk keluar dari rumah ini, Erland. Jadi berhenti bicara omong kosong, dan minggir!"

"Nggak, Re!"

"Minggir, Erland!"

"Aku bilang enggak!"

Merasa kesal karena Erland tak kunjung menurut. Rene pun memilih menerobos tubuh Erland. Tidak peduli jika Erland menghadang langkahnya. Dia tetap menerobos langkah Erland.

"Re, please denger aku!"

"Saya bilang jangan menyentuh saya, Erland! Minggir kamu. Saya mau pergi."

"ERLAND!" Teriak Rene refleks. Tanganya langsung membekap mulutnya begitu melihat Erland yang jatuh tergelincir.

Tadi tangannya tak sengaja mendorong dada bidang Erland karena pria itu terus memaksa memeluk tubuhnya. Berakhir Erland pun kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya. Berakhir terguling dari tempatnya berdiri hingga di lantai dasar.

"Erland!" Secepat kilat. Rene langsung berlari menuruni anak tangga. Melangkah ke arah Erland yang kini mengerang.

"Erland," gumam Rene. Menatap Erland yang nampak tergeletak mengenaskan di depannya.

"Re, sakit, Re."

****

Rene berulang kali meremas tangannya gelisah. Sekarang dia berdiri di depan ruang rawat Erland.

Rasanya dia hampir kehilangan nyawanya begitu melihat Erland tergeletak tak berdaya. Belum lagi keringat dingin yang terus membanjiri tubuhnya. Hingga membuat bajunya basah dengan keringat dingin.

Rene tidak menyangka karena sifat keras kepalanya membuat Erland mengalami hal semengerikan tadi.

Jatuh tergelincir dari tangga yang begitu tingginya. Belum lagi darah segar yang sempat mengalir dari kepala Erland. Rene tidak bisa membayangkan sebesar apa penyesalan yang akan dia tanggung jika sampai terjadi sesuatu pada pria itu.

Bergerak gelisah di tempatnya. Rene menatap pintu ruang rawat Erland sekali lagi.

Pintu itu masih tertutup rapat. Belum ada tanda-tanda dokter akan keluar dari sana. Membuat Rene kian bergerak gelisah di tempatnya.

Sebenarnya, separah apa keadaan pria itu? Kenapa dokter lama sekali keluar dari sana?

"Rene,"

Tubuh Rene mematung. Bahkan ketika langkah kaki mendekat ke arahnya membuat Rene merasa menyesal karena harus terlibat dengan mantan suaminya itu?

"Re, bagaimana keadaan Erland?"

Rene menelan ludah susah payah. Menatap wanita setengah baya yang terlihat khawatir di depannya.

Sekat, Tak Berjarak (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang