Elang menatap ragu pada layar ponselnya, dia bingung harus bagaimana sekarang. Jujur dia masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar tentang istrinya. Tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menutup mata jika dia nyatanya istrinya memang melakukan hal seperti itu.
Menarik nafas dalam. Elang pun pada akhirnya meraih ponsel. Menghubungi seseorang yang mungkin saja bisa menjelaskan semuanya sekarang.
****
"Kamu yakin nggak mau aku temani?"
Rene mendengus. Menggeleng tegas. "Aku masih sayang nyawa, apalagi urat maluku masih belum putus."
"Ckk, aku bisa tidur di lantai kok, Re. Atau--"
"Erland please, kamu mau buat kita berdua di tangkap pak RT?"
Erland tergelak. Tertawa renyah hingga ke mata. "Ok aku bercanda sayang. Tapi kalau kamu mau, aku gak keberatan kalau kita nikah sekarang. Aku bisa panggil--"
Rene memutar bola matanya malas. Mencubit gemas perut Erland hingga menghentikan ucapan ngelanturnya. "Kamu terlalu banyak bicara Erland. Lebih baik sekarang kamu pulang, kamu pasti capek seharian ini kerja 'kan?"
Disela-sela ringisannya Erland pun tersenyum lebar. "Perhatian banget sih Re, jadi gak sabar pengen nikah sama kamu."
Rene memutar bola matanya malas. Mengibaskan tangannya, memberi isyarat kepada Erland untuk menjauh.
"Ya udah aku pulang ya?"
Rene mengangguk sekenanya. Membuat Erland gemas dan mengecup keningnya cepat. Mendapatkan perlakuan tak terduga dari Erland membuat Rene menatap sekeliling dengan wajah panik.
"Erland," Tegurnya kesal.
"Iya-iya ini pulang sayang. Jangan marah doang."
Rene memutar bola matanya kesal. Entah sudah berapa kali pria itu ijin dengannya. Tapi bukannya pergi, dia malah masih berdiri di depan kontrakannya.
"Ya udah aku pulang ya?"
"Hmm,"
Erland tergelak mendengar suara kesal kekasihnya. Dengan jail dia pun kembali mengecup pipi Rene, baru setelahnya dia pun berlari menjauh membuat Rene menatapnya tak percaya.
"I love you sayang." Ucapnya tanpa suara membuat Rene menggeleng tak percaya. Hingga Erland pergi menghilang dari jarak pandangnya. Barulah Rene masuk ke dalam kontrakkannya. Tidak sadar jika ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya.
"Tunggu pembalasan ku Rene. Aku bakal buat kamu menyesal." Gummanya sinis. Melangkah menjauh setelah dirasa cukup mendapatkan apa yang dia inginkan.
*****
Malam ini Erland benar-benar merasa tidurnya benar-benar nyenyak. Dia merasa punya semangat baru untuk memulaihari-harinya. Selesai dengan kegiatannya bersiap, Erland menuruni anak tangga. Melangkah santai menuju ruang makan di mana dia bisa menemukan keberadaan mamanya.
Dan seketika senyumnya mengembang begitu menemukan Mona nampak sibuk dengan kegiatannya. Menyusun sarapan di atas meja..
"Pagi ma," Sapanya. Mengambil duduk di kursi depan mamanya. Seketika gerakan tangan Mona terhenti. Keningnya mengernyit begitu menemukan wajah berseri putranya. Berbeda jauh dari beberapa hari yang lalu.
"Erland?"
"Hmm," Erland hanya bergumam menjawab pertanyaan Mona karena fokusnya kini pada ponsel di tangannya.
"Kamu mau ke mana?"
"Kantor."
Lipatan di kening Mona kian banyak, dia bahkan langsung menoleh ke arah jam dinding. Belum jam tujuh, bahkan masih setengah enam. Tumben sekali putranya itu jam segini sudah rapi?
"Ini belum jam tujuh. Kok kamu tumben udah mau berangkat?"
Fokus Erland pada ponselnya terhenti. Kepalanya menoleh ke arah mamanya yang kini menatap penasaran.
"Erland mau pergi ke suatu tempat ma. Ada urusan penting."
Mona mengangguk. Tidak bertanya lagi. Hingga beberapa menit diam, Mona pun kembali membuka suara. Membuat tubuh Erland kaku seketika.
"Evelia tumben gak pernah ke sini Er, mama kangen. Kamu telpon gih, minta dia datang. Nginep ya?"
Erland diam. Bahkan wajahnya nampak mengeras saat ini. "Dia lagi sibuk ma. Lain kali aja lah."
"Loh tumben sih? Dia sibuk apa? Bukannya dia lagi istirahat sama Elang? Elang jadi ambil cuti kan?" Diberondong banyak pertanyaan oleh mamanya membuat Erland menghela nafas berat.
"Erland sibuk ma, Erland berangkat dulu ya?" Tanpa mendengar balasan dari mamanya. Erland pun melangkah menjauh. Meninggalkan Mona dengan wajah penasaran yang kian menggunung.
****
Evelia merasa tubuhnya terasa remuk bukan main. Bahkan ketika dia membuka matanya yang terasa berat, kepala Evelia terasa berputar-putar. Berdenyut nyeri hingga membuat perutnya terasa mulas bercampur mual.
"Non, non baik-baik saja?"
Evelia membekap mulutnya. Menoleh ke arah pintu di mana art nya yang masuk ke dalam kamarnya dengan nampan di tangan.
"Kemarin bibik nemuin non Lia di ruang tamu. Waktu bibik panggil-panggil non Lia, non Lia gak bangun-bangun. Eh tahunya non demam."
Evelia diam mendengarkan penjelasan artnya. Diam-diam berusaha mengingat-ingat apa saja yang terjadi padanya.
"Makasih ya bik," ucap Evelia, menoleh ke sekeliling. Terlihat mencari-cari sesuatu. Hingga pandangannya jatuh pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan siang.
Apa dia sudah pergi kerja?
"Non cari mas Elang ya?"
Evelia diam. Namun pandangannya kini mengarah pada artnya.
"Mas Elang dari kemarin gak bisa dihubungi non, waktu saya mau hubungi mas Erland dan nyonya Mona, saya takut."
Evelia diam namun kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Pasti artnya mendengar pertengkaran dia dan Elang.
"Gak papa bik. Makasih ya udah bantu Lia sampai kamar. Kalau gak ada bibik--"
"Bibik sayang sama non Lia. Dari dulu non Lia udah kayak anak bibik sendiri. Kalau non Lia sedih, marah sama kecewa. Non Lia jangan takut sendiri. Ada bibik di sini. Bibik bisa dengerin semua keluh kesah non Lia."
Evelia tergugu. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia malu bercampur marah pada dirinya sendiri.
"Lia bukan orang baik bik, Lia banyak salah."
"Bibik Yati juga banyak salah non. Semua manusia gak ada yang sempurna."
Evelia menggeleng. "Kesalahan Evelia terlalu banyak bik. Terlalu besar sampai rasanya sulit untuk dimaafkan."
Yati menggeleng. Beringsut mendekat ke arah majikannya. Memeluk Evelia yang kini terisak dalam.
"Gak ada manusia yang sempurna non. Gak ada. Jadi kalau non merasa sekarang menyesal dengan apa yang non lakukan, non hanya perlu memperbaiki semuanya. Memperbaiki semuanya dan berjanji buat gak ngulangi lagi."
Evelia membalas pelukan artnya kian erat. Menangis sekuat yang dia bisa. Setidaknya, jika sekarang semua orang meninggalkannya. Dia masih punya bik Yati. Art yang menemaninya sedari dulu. Orang yang selalu menghiburnya di tengah-tengah kesedihananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat, Tak Berjarak (SELESAI)
Romance#Erland Bramantyo #Kirenediya Azwar Ferdian Tiga tahun yang lalu, ketika hakim mengetuk palu. Statusnya sudah berubah menjadi janda. Tidak lagi berhak atas pria yang hampir seumur hidupnya dia cintai. Dia tidak lagi bisa bangga memamerkan statusnya...