Sekali lagi, Rene membenarkan letak duduknya. Merasa tidak nyaman dengan duduknya kali ini.
Apalagi ketika semua orang menatap ke arahnya dan juga Erland yang kini duduk di sampingnya. Di kursi roda dengan wajah sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan keluarganya.
"Kamu yakin dengan apa yang kamu katakan, Erland?"
Erland mengangguk yakin. "Iya, Ma. Mama tenang saja. Rene nggak keberatan kok buat bantu Erland sampai sembuh."
"Nggak." Sentak Evelia keras. Menolak tegas ide adiknya untuk tinggal satu rumah dengan wanita yang sama sekali tidak memiliki status apapun.
"Lia nggak setuju dengan ide Erland, Ma. Yang benar saja dong. Masa iya sih mereka harus tinggal satu rumah."
"Apa masalahnya, Kak? Kami nggak akan melakukan hal yang merugikan siapa pun kok. Termasuk diri kami masing-masing. Rene cuman bantu aku."
"Ada banyak pelayan di sini, Erland. Dan kamu nggak harus minta bantuan dia!" Tunjuk Evelia pada Rene yang hanya diam. Meremas ujung dressnya kuat.
Menahan sebagian dalam hatinya yang berdenyut nyeri tanpa alasan.
Ini udah biasa, Re. Nggak papa. Semua akan baik-baik saja. Semua hanya sementara. Bisik dalam hati kecil Rene memberi semangat.
Erland tertawa kaku mendengar ucapan kakaknya. "Terserah kalau kakak nggak setuju. Tapi Erland cuman mau Rene yang bantu."
"Ma!" Panggil Evelia pada mamanya. Yang hanya diam dengan menghela nafas panjang.
"Biarkan Erland melakukan apa yang dia mau, Lia! Jangan ikut campur dengan hidupnya."
Evelia tertawa sinis dengan ucapan ibunya. Dengan kesal dia pun menatap ke arah Rene yang kini hanya diam. Terus menutup mulutnya dengan tangan saling bertautan.
"Saya nggak tahu apa yang kamu kasih pada kedua keluarga saya. Sampai mama dan Erland begitu membela kamu dari pada saya. Keluarganya sendiri."
"Kak Lia!" Tegur Erland memperingati. Rahangnya bahkan sudah mengeras dengan sorot mata yang menatap tajam Evelia di depannya.
Tidak suka dengan apa yang baru saja kakaknya katakan kepada Rene.
"Kenapa? Kamu keberatan dengan apa yang baru saja aku katakan, Erland?" Tanya Evelia dengan nada menantang.
"Seharusnya kamu itu sadar, Erland! Jika wanita yang kamu bela ini bukan seperti yang kamu pikirkan!"
"Kak Lia, cukup!" Bentak Erland membuat semua orang terkesima.
Ini adalah pertama kalinya Erland membentak Evelia di depan semua orang. Karena selama ini yang mereka tahu adalah Erland begitu menyayangi kakak perempuannya itu setelah mamanya.
Erland tidak akan pernah marah pada Evelia sebesar apapun salahnya. Dia bahkan begitu memanjakan kakak perempuannya itu. Sekejam apa kakak, sesalah apa dia. Erland akan terus menutup mata. Dia akan memilih membiarkan kakaknya itu melakukan apapun ketimbang melarangnya. Karena itulah selama ini Evelia tidak pernah takut apapun. Dia selalu punya Erland yang membelanya di urutan paling depan.
"Erland,"
"Lebih baik sekarang kakak pulang. Aku nggak mau dengar apapun."
"Kamu bentak kakak hanya karena perempuan itu, Erland?"
"Aku udah bilang kan, Kak. Kalau aku nggak mau dengar apapun!"
"Aku kakak kamu, Erland!" Seru Evelia tak mau kalah. Hingga membuat wajah Erland kian datar menatapnya.
"Mas, bawa kakak pulang!" Seru Erland pada Elang. Yang saat ini sama terkejutnya dengan semua orang karena sifat tegas Erland yang untuk pertama kalinya. Dia tunjukkan di depan semua orang.
"Sayang, kita pulang sekarang!"
"Nggak." Tolak Evelia begitu Elang berniat menggiringnya keluar. "Aku nggak akan pernah keluar dari rumah ini sebelum Erland usir wanita sialan itu!"
Tatapan Erland langsung menghumus tajam ke arah Evelia. Kesabarannya mendadak berubah begitu tipis. Apalagi ketika Evelia menunjuk Rene yang sedari tadi bahkan tidak mengangkat wajahnya.
Dia terlihat begitu tidak nyaman dengan apa yang kakaknya katakan kepadanya.
"Erland, katakan pada kakak! Apa yang wanita itu perbuat sana kamu? Apa yang wanita itu berikan ke kamu sampai kamu bisa jadi seperti ini? Apa dia guna-guna kamu?"
"KAK EVELIA, CUKUP!"
"Nggak Erland! Aku nggak akan diam saja selama kamu masih sama dia! Dia udah buat kamu menyedihkan bahkan dia udah ninggalin kamu! Seharusnya kamu sadar itu-..."
Pyarrrr
Dengan kasar, Erland melepar vas bunga di sampingnya. Hancur berkeping-keping tepat di depan Evelia. Membuat semua orang terkesima dengan wajah kaku.
"Sekali lagi kakak buka mulut. Dan menghina Rene. Aku akan pastikan, jika kakak nggak akan pernah bisa menginjakkan kaki di sini lagi."
Kedua mata Evelia melotot. Sedang semua orang hampir menganga tak percaya. Erland bukan hanya marah. Tapi dia murka.
"Erland."
"Pulang! Sekarang!" Potong Erland tegas. Tak ingin di bantah apalagi sampai di debat.
Dengan wajah pias. Tubuh gemeras. Evelia pun melangkah di tuntun Elang di sampingnya. Keluar dari rumah Erland dengan tubuh menahan tangis.
Hening.
Ruang tamu Erland langsung hening begitu Evelia sudah keluar. Tidak ada yang membuka suara begitu Evelia meninggalkan rumah Erland.
Bahkan Erland sendiri pun. Dia hanya diam dengan tangan terkepal dan juga rahang mengeras.
Tanpa kata, dia pun menggerakkan kursi rodanya dengan sebelah tangan yang tidak di gips. Menjauh tanpa kata atau bahkan menoleh ke arah Rene.
Meski sedikit kesulitan. Dia tetap melakukannya sendiri. Tanpa mau meminta tolong pada siapapun. Padahal saat ini Rene menatapnya lurus. Begitu pun mamanya.
Sampai dia menghilang di balik pintu. Kamar yang akan dia tinggali mulai detik ini. Dia hanya diam. Sampai suara dentuman pintu cukup keraslah yang membuat dua wanita di ruang tamu kini tersentak kaget.
"Rene, kamu baik-baik saja?" Mona mendekat. Duduk di samping Rene yang saat ini hanya diam.
Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia benci berada di situasi ini.
"Mama minta maaf untuk semua sifat anak-anak mama ya, Re? Maaf karena mereka terlalu egois."
Rene hanya diam. Tidak menjawab ucapan mantan ibu mertuanya. Bibirnya seakan terasa Kelu hanya untuk bicara.
Sampai Mona meraih tangan Rene untuk dia genggam. Membuat Rene seakan tersadar dan balik menatap Mona.
"Evelia sudah sangat keterlaluan. Dia ... Terlalu dimanja selama ini dengan Erland. Dan Erland--"
"Rene mau istirahat dulu, Tante. Maaf, Rene ke kamar dulu."
Mona hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Rene. Dia tahu Rene sangat kecewa dengan apa yang anak-anaknya lakukan.
"Baiklah. Istirahat lah, Nak."
Tidak berpamitan dua kali. Rene langsung melangkah ke arah kamar yang cukup jauh dari kamar Erland. Melangkah lambat dengan perasaan yang campur aduk.
Kenapa dia ada di situasi seperti ini? Kenapa dia ada di sini?
Semakin Rene melangkah mendekat ke arah kamar. Hati Rene kian terasa hancur berkeping-keping. Dia seakan tak lagi memiliki hati. Sekarang dia sadar, setelah hari itu. Hari di mana dia dan Erland berpisah. Hatinya memang sudah hancur lebur tanpa sisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat, Tak Berjarak (SELESAI)
Romance#Erland Bramantyo #Kirenediya Azwar Ferdian Tiga tahun yang lalu, ketika hakim mengetuk palu. Statusnya sudah berubah menjadi janda. Tidak lagi berhak atas pria yang hampir seumur hidupnya dia cintai. Dia tidak lagi bisa bangga memamerkan statusnya...