"Jadi,... dia adalah sekretaris kamu, sayang?"
Kiren bisa melihat bagaimana Elang mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari atas dokumen diantara kedua tangannya. Sedang wanita yang bertanya dengan nada suara lembut duduk di lengan kursi kebesaran Elang dengan sebelah tangan melingkar di pundak Elang.
Kiran bisa dengan jelas melihat bagaimana Evelia menatap Kiren dengan pandangan menelisik.
"Siapa nama kamu?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Kiren.
"Kiren, nyonya."
"Berikan aku data--"
"Sayang, hari ini kamu sudah menentukan tempat kita makan siang?" Evelia langsung menunduk. Menemukan tatapan mata Elang yang menatap ke arahnya.
"Kamu siang ini sibuk?"
Tangan Elang terulur. Menyingkirkan helaian rambut Evelia di sekitar wajahnya. "Tidak begitu. Kenapa?"
"Bagaimana jika kita makan siang di luar? Kita sudah lama nggak makan siang di luar kantor kan? Akhir-akhir ini kamu begitu sibuk."
"Maaf, kamu tahu kan aku belakangan sibuk karena apa?"
"Ya." Angguk Evelia. Meski wajahnya terlihat merenggut. Namun nampak menggemaskan di mata Elang. "Tapi hari ini kamu sudah punya sekretaris baru. Dan itu artinya kamu nggak punya alasan sibuk."
"Tentu saja." Balas Elang. Yang mampu menerbitkan senyum lebar istrinya.
"Dan aku juga nggak akan punya alasan berangkat pagi karena banyak pekerjaan."
"Apa itu artinya kita akan tidur di ranjang lebih lama?"
"Aku bahkan masih bisa memulai olah raga pagi kita dengan rutin seperti dulu, jika saja kamu mau." Kerling Elang yang di sambut gelak tawa Evelia. Tanpa ragu dia bahkan langsung mengecup pipi Elang. Yang dibalas Elang dengan kekehan.
Dan semua interaksi dua orang yang tengah di mabuk asmara itu pun tidak lepas dari tatapan mata Kiren. Dia ... hanya diam mematung dengan perasaan campur aduk.
Hingga dia pun hanya bisa berdiri kaku dengan wajah tak berekspresi. Terus memperhatikan bagaimana Evelia tertawa renyah dengan Elang yang sesekali mengecup bibirnya. Adegan itu layaknya sebuah dejavu. Dia ... pernah berada di posisi itu. Namun dengan lelaki berbeda pastinya.
Sampai hatinya terasa berdenyut nyeri. Kiren pun tidak tahan untuk tidak segera menyudahi tontonan gratis di depannya yang mendadak terlihat menjijikan. Berdeham cukup keras, Kiren pun berhasil menarik perhatian dua orang di depannya.
"Maaf, tuan, nyonya jika tidak ada lagi yang ingin ditanyakan. Apakah saya sudah boleh kembali ke ruangan saya?"
Elang yang tadinya menatap ke arah Kiren, kini mendongak. Bertanya lewat tatapan mata ke arah Evelia.
Evelia menarik sudut bibirnya ke atas. Hingga dia pun sekali lagi menatap ke arah Kiren dengan pandangan menilai.
"Aku sudah selesai. Aku tidak keberatan dengan sekretaris kamu yang sekarang." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Kiren."Baiklah, Kiren. Kamu bisa pergi sekarang!"
Tanpa di minta dua kali. Kiren pun langsung berbalik. Keluar dari ruangan yang mendadak terasa seperti neraka.
"Aku tidak tahu. Kenapa Mack bisa merekrut sekretaris yang tidak cantik?"
"Kamu keberatan jika sekretarisku saat ini tidak cantik?" Balik tanya Elang. Dia kembali menunduk. Memeriksa tumpukan dokumen di depannya.
"Tentu saja tidak. Aku hanya merasa heran. Tapi aku suka karena dia jelek. Jadi aku tidak perlu khawatir jika kamu akan tertarik kepadanya. Iya kan?"
Gerakan tangan Elang langsung terhenti. "Apa itu artinya kamu meragukan cintaku, Vi?"
Seakan tersadar jika kata-katanya membuat Elang tersinggung. Evelia langsung buru-buru menangkup wajah Elang. Menatap kedua mata hitam pekatnya yang terasa begitu sejuk.
"Tidak, Sayang. Tentu saja tidak." Geleng Evelia sedikit panik. "Aku hanya merasa trauma dengan orang-orang di sekitarku dulu. Kamu tahu bagaimana masa laluku kan? Itulah mengapa aku selalu--"
Dengusan kasar langsung keluar dari bibir Elang. Berhasil menghentikan ucapan Evelia yang berusaha membela diri. "Tapi aku tidak sama dengan papamu, Vi! Itu yang seharusnya kamu tahu! Dan berhenti menyamakan aku dengan papamu itu!"
"Elang, aku tidak bermaksud--"
"Ya, kamu selalu mengatakan itu. Tapi kamu terus berpatokan dengan pemikiran kamu itu. Sampai sekarang, kamu selalu berpikir picik tentangku." Bangkit dari duduknya. Elang menyingkirkan tangan Evelia yang berada di wajahnya. Membuat Evelia sedikit panik. Dan langsung menangkup tangan Elang. Menggenggamnya dengan begitu erat. Seakan dia begitu takut jika Elang akan marah padanya.
"Maafkan aku Elang. A-aku, aku... hanya takut."
"Ya karena ketakutanmu itu. Kamu tidak bisa melihat bagaimana cintaku kan?"
"Elang." Mohon Evelia memelas.
"Aku benci ketika kamu berpikir bahwa cintaku begitu rendah, Vi."
"Aku tidak pernah berpikir begitu, Elang!"
"Ya kamu tidak pernah berpikir begitu. Tapi sikapmu menunjukkan hal sebaliknya."
"Tapi aku sedang berusaha, Elang. Jadi tolong mengertilah!"
Menggeleng tak habis pikir. Elang pun melangkah mundur. Membuat pegangan Evelia di tangannya pun terlepas begitu saja. "Ck, apa selama ini pengertianku masih kurang, Vi? Aku bahkan sudah bosan dengan tingkahmu yang kadang bersikap begitu curiga. Padahal kamu jelas-jelas tahu aku ada di mana. Dan dengan siapa!"
"Elang."
"Perbaiki sikapmu, Vi. Tidak peduli jika ketakutan di masa lalumu itu begitu mengerikan untukmu. Tapi itu bisa saja menjadi bumerang untuk kita."
Kedua mata Evelia langsung berkaca-kaca mendengar ucapan Elang. Hingga bayangan sesuatu mulai berputar di kepalanya. Membuat dia menggeleng dengan wajah panik.
Melihat istrinya yang sudah mulai berkaca-kaca. Emosi Elang pun seakan surut. Hingga dia pun tidak tahan untuk terus membiarkan istrinya menjatuhkan lelehan air matanya. Menghela nafas panjang, Elang pun beringsut maju. Menarik tangan Evelia hingga tubuhnya masuk ke dalam pelukannya.
"Aku tidak suka melihatmu menangis!"
"Aku tahu." Isak Evelia. Memeluk pinggang Elang semakin erat. Menenggelamkan wajahnya di antara dada bidang suaminya. Sedang wajahnya terus mengeluarkan lelehan air mata dengan deras.
"Jika begitu, berhenti menangis!"
Bukannya menurut, isakkan tangis Evelia malah kian terdengar.
"Maaf." Bisik Elang. Diantara helaan nafas pendeknya. "Apa aku terlalu keras?"
"Aku takut kehilanganmu, Elang."
"Aku tidak akan pergi ke mana pun."
"Janji?"
"Hmm."
Sampai beberapa waktu mereka berpelukan. Dengan suasana ruangan yang diisi dengan isakkan Evelia. Tangan Elang pun tidak berhenti mengusap punggung istrinya. Berharap bisa sedikit mengurangi tangisnya.
"Sayang?" Panggil Elang begitu tangis Evelia reda. Yang dibalas dengan gumaman Evelia.
"Kamu tidak ingin mencoba untuk pergi ke psikiater?" Pertanyaan tiba-tiba Elang seketika membekukan seluruh tubuh Evelia. Membuatnya mematung dengan wajah tersentak kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat, Tak Berjarak (SELESAI)
Romansa#Erland Bramantyo #Kirenediya Azwar Ferdian Tiga tahun yang lalu, ketika hakim mengetuk palu. Statusnya sudah berubah menjadi janda. Tidak lagi berhak atas pria yang hampir seumur hidupnya dia cintai. Dia tidak lagi bisa bangga memamerkan statusnya...