Chapter 08: Payung yang Dilukis

60 21 2
                                    

"Lo yakin mau ikut di sini? I mean, masih ada kesempatan untuk berubah pikiran," kata Theo, di suatu sore. Dia memandang ke arahku seraya menaikkan sebelah alisnya, meminta kepastian dariku.

"Masih aja nanya. Liat nih, gue bahkan bawa bantal, selimut, dan Bebe. Kurang yakin apa lagi?" kataku mengangkat semua barang yang kusebutkan tadi, lalu memeluk Bebe, boneka lebah kesayanganku yang jika tak ada dia, aku tak bisa tidur.

Aku tidak sedang berada di Jakarta, hari itu. Aku berada di sebuah daerah yang bahkan tak kuketahui namanya. Kami tengah berada pada libur semester dan kedua orang tua Theo berniat untuk membawa Theo dan Caca ke sebuah perdesaan sekaligus tempat salah satu pabrik dari usaha yang Ayah Theo kembangkan. Selain mengurus masalah kerjaan, Ayah Theo juga berharap kepergian itu bisa menjadi liburan kecil bagi anak-anaknya.

Tak hanya itu, mereka mengajakku dan bilang padaku, anggap saja liburan yang tak seberapa itu ada untuk mempererat hubungan dan kebesaramaan kami.

Kedua orang tua Theo memang orang yang baik dan sangat humble. Aku beruntung bisa berkenalan dengan orang sebaik mereka, mereka bahkan menganggapku seperti anak mereka sendiri, meskipun kami belum berkenalan lama. Aku pun ikut ke sebuah daerah yang tak kuketahui itu. Kami menggunakan dua mobil karena ada banyak barang penting berhubungan dengan pekerjaan yang dibawa sehingga Theo pun membawa mobil sendiri yang berisi Theo, aku, dan Caca.

Mobil Theo memang tak mahal. Mobilnya hanyalah mobil klasik yang tampak kuno dari luar. Dari yang dia ceritakan pun, mobil ini satu-satunya mobil yang bisa dia dapatkan dari hasil penukaran mobilnya yang sebelumnya. Kebangkrutan ayahnya membuat Theo pun harus menukarkan mobilnya dengan mobil yang lebih murah.

Namun, Theo itu pintar. Dia mampu menyulap isi dari mobil kuno tersebut menjadi senyaman mungkin. Suasana yang nyaman, aroma yang enak, serta AC yang dingin. Mobil itu sangat nyaman menurutku, andaikata seseorang tidak menilainya hanya dari luar.

Malam itu, aku dan Theo berniat untuk berada di mobil semalaman dan diapit oleh mobil-mobil yang juga mengantri untuk mendapatkan bahan bakar minyak kendaraan. Awalnya, Theo berniat untuk pergi sendirian, tapi aku meminta untuk ikut.

Kami berada di antara antrian panjang mobil di sebuah SPBU. Theo bilang, SPBU di daerah ini memang hanya satu dan bahan bakar pun sedang susah sehingga orang-orang harus mengantri panjang untuk mendapatkan bahan bakar minyak kendaraan. Aku berdecak kagum melihat antrian yang sangat panjang itu. Maksudku, tak pernah kutemukan antrian SPBU sepanjang ini sebelumnya, di Jakarta.

Antrian itu akan memakan waktu lama untuk sampai di posisi paling depan. Itulah kenapa, aku sudah mengenakan piyama dan membawa teman-temanku untuk tidur. Aku dan Theo akan menghabiskan malam ini di antrian ini. Entah aku akan tidur atau tidak malam ini.

"Jangan puter radio, dong. Gue jadi ngantuk," kataku menaikkan selimut tersebut ke atas batas pundakku. "Puter musik aja."

"Lo gak suka radio?" tanyanya, kubalas dengan gelengan. "Gue seneng banget sama radio."

"Oh, ya? Kenapa?" tanyaku.

"Gak tau. Suka aja. Gue juga sering banget dengerin radio kalau lagi nugas di kamar. Biar gak sepi aja gitu," katanya. "Tolong ambilin permen tangkai di laci itu, dong."

Aku pun mengulurkan tanganku, membuka laci tersebut, menemukan banyak sekali permen tangkai di situ. Aku pun menyodorkan permen tangkai rasa mangga, rasa favoritnya, ke arahnya.

Dia membuka bungkus plastik dari permen tangkai itu, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Katanya, permen tangkai itu adalah pelarian baginya agar cepat berhenti merokok.

"Lo seneng banget sama yang rasa mangga, ya," kataku. "Lo perokok berat gak sih, sebelumnya?"

Dia menggeleng. "Gak berat juga. Tapi, ya, gue ngerasa cukup ketergantungan dan itu gak baik buat kesehatan gue. Apalagi, suatu saat gue bakalan ngobatin orang."

"Padahal, Ayah gak ngerokok, kan?"

Dia menggeleng lagi. "Ayah sama Ibu benci banget sama rokok. Makanya, gue juga harus benci dan berhenti."

Aku meraih jemarinya. "Lo pasti bisa."

Bicara rindu
Bicara haru
Luangkan ruang imajimu ♬

Bernyanyi merdu
Bernyanyi sendu
Bebaskan birunya hatimu ♬

"Lo tau lagu ini?" tanyaku. "Lagunya bagus, tapi kok gue gak pernah denger, ya?"

"See? Lo jadi nemu banyak lagu bagus kalau dengerin radio," Theo terkekeh. "Judulnya Dialog Hujan. Penyanyinya Senar Senja. Lagu-lagunya emang bagus, sih."

Aku terdiam sejenak. Untuk satu waktu, aku tau bahwa lagu ini suatu saat akan menjadi jembatan yang membawaku ke sebuah pikiran mengenai Theo, mengenai malam itu, mengenai kebersamaan kami yang pernah ada.

Dia tertawa. "Lo udah teler banget, tuh. Udah ngantuk banget, ya?"

Aku menggeleng, meskipun aku bisa merasakan mataku sayu dan sudah berat karena mengantuk.

"Yo," kataku, mengubah posisiku sedikit. "Coba tutup mata lo."

Theo menaikkan alisnya curiga, tapi tetap menutup matanya sesuai permintaanku. Aku meraih sebuah kotak yang dibalut kertas kado dari kursi belakang, lalu meletakkanya di atas tangan Theo.

Theo membuka matanya. "Apa, nih?"

"Selamat ulang tahun, Yo," ujarku, tersenyum.

Dia ikut tersenyum manis. "Kok tau?"

Aku tersenyum bangga. "Coba buka."

Dia membuka kotak tersebut, sepersekian detik mengernyitkan dahinya. "Payung?"

Aku tersenyum miring. "Itu bukan sembarang payung. Payung ini gue sendiri yang lukis. Liat, tuh. Lo gak bakalan nemu payung ini dimanapun."

Dia terkekeh. "Terus, warnanya luntur kalau kena hujan?"

"Bego. Emangnya gue lukis payung ini pake cat air?" kataku terkekeh, menggosokkan kedua telapak tanganku kedinginan.

Dia yang memperhatikan itu, lantas meraih kedua telapak tanganku dan mencium jemariku dengan hangat. "Better?"

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang