Chapter 03: Coretan di Sebuah Gitar

82 21 1
                                    

"Lo yakin ngajakin gue ke sini?" tanyaku menaikkan sebelah alis, berjalan mengikutinya yang tepat di depanku.

Dia yang tengah menggandeng tanganku erat, tersenyum ringan ke arahku sekilas, lalu mengangguk yakin.

Hari itu adalah hari kelima kami berpacaran. Kami berjalan menelusuri jalan sempit dengan berlari kecil menuju suatu tempat yang tersembunyi. Arloji di tangan kanan Theo menunjukkan pukul sebelas malam. Satu jam lagi, hari Kamis akan berganti menjadi hari Jum'at dan tahun 2020 akan berganti menjadi tahun 2021.

"Ayo, masuk," ucap Theo membuka jaketnya lalu menggantungkannya di stand hanger yang berada tepat di dekat pintu masuk rumahnya.

"Gelap banget," komentarku, ikut melepaskan jaketku dan menggantungkannya di dekat jaket milik Theo.

"Hemat listrik," kata Theo, berjalan menuju tangga. "Ikut gue."

Aku dan Theo pun berjalan menaiki anak tangga. Aku berusaha mengendap-endap dan tidak menimbulkan suara, tapi kata Theo, aku tak perlu seperti itu karena tak ada siapapun di rumah ini selain kami berdua.

Dia membuka pintu kamarnya, mempersilakan aku untuk masuk lebih dulu. "Welcome to my jungle."

Aku menyapukan pandanganku ke sekitar. Kamar ini gelap, hanya ada nuansa biru laut yang disalurkan oleh lampu tidur proyektornya. Untuk ukuran kamar laki-laki yang biasa kulihat, kamar Theo benar-benar rapi. Rak bukunya penuh dengan buku-buku tebal yang dia susun dari yang bentuk tertinggi sampai yang terendah. Di sebelah rak itu, ada beberapa potret keluarga dan potret masa kecil Theo.

Di dinding kamarnya ada sebuah jam dinding bundar yang angkanya memakai rumus matematika, seperti angka 2 yang dijadikan √4. Gorden jendelanya terbuka lebar, menampakkan bintang-bintang dan bulan dengan bulat yang tak sempurna, menghiasi langit kelabu.

"Rapi banget," komentarku, tersenyum kecil.

Dia hanya bisa tertawa kecil, lalu meraih gitar berwarna putih susu yang penuh coretan di atasnya tersebut. "Duduk sini."

Dia membuka pintu jendela kamarnya, lalu menepuk-nepuk ambang jendela kamarnya yang bisa diduduki. Aku pun berjalan ke arahnya, duduk di dekatya, berhadapan dengannya. Dia pun mulai memetik senar gitarnya, mengalunkan melodi dengan pelan. Aku memandangi jemari itu memetik senar gitar, lalu memandangi wajahnya yang menunduk dan fokus pada jarinya yang ada di senar gitar.

Aku memang bukan pacar aslinya dan begitupun sebaliknya. Hubungan ini ada atas asas mutualisme. Dia membutuhkan bayarannya, aku membutuhkannya sebagai penolongku dari perjodohkan yang kedua orang tuaku buat. Hubungan ini tak lama, tapi setidaknya, untuk saat ini, aku terbebas dari perjodohan itu. Meskipun hubungan ini tak nyata, kami berdua sepakat untuk menjadikan hubungan ini serealistis mungkin karena begitulah isi dari kontrak yang sama-sama kami tanda tangani.

Kami mengambil kontrak berpacaran selama dua bulan Setelah hubungan pura-pura ini usai, dia harus memberikan laporan mengenai hubunganku dengannya dan aku pun harus memberikan penilaian atas pelayanannya sebagai pacar pura-puraku.

Semakin banyak perlakuan romantis yang dia berikan padaku, semakin besar bayaran yang akan dia dapatkan dari perusahaannya. Terdengar seserius itu, tapi beginilah adanya. Oleh karena itu, aku dan Theo memutuskan untuk bertingkah laku selayaknya dua orang yang saling mencintai, meskipun sebenarnya hubungan ini tetaplah semu.

"Theo," panggilku, membuatnya menatap lurus ke arahku. Dia hanya berdehem, menunggu kelanjutan dari ucapanku. "Gue boleh nanya, gak?"

Dia mengangguk.

"Kenapa lo ngambil kerja part-time sebagai rental boyfriend?" tanyaku, meskipun ragu. Aku takut menyinggungnya, tapi pertanyaan ini terus menari-nari di kepalaku sejak aku bertemu dengannya.

Dia nyaris sempurna. Wajah yang tampan, mahasiswa di sebuah universitas ternama, memiliki selera musik yang bagus, dan… entahlah, dia benar-benar impian para gadis. Aku tau bayarannya besar, tapi kenapa dia memilih untuk mendapatkan uang dengan mengambil pekerjaan itu?

Dia berhenti memainkan gitarnya, lalu mengulum bibirnya dan berpikir sejenak. Dia kemudian mengubah posisi gitar itu menjadi memeluk benda berwarna putih susu tersebut, lalu menatapku.

"Gue… ehm, apa, ya? Dari dulu, gue pengen banget jadi dokter," katanya. "Bokap gue pengusaha, nyokap gue ibu rumah tangga. Ekonomi kita lebih dari cukup dan stabil sampe perusahaan bokap gue bangkrut, dua tahun yang lalu."

Aku terdiam, cukup lama. Apakah pertanyaanku mendatangkan awan hitam baginya? Aku mulai merasa bersalah.

"Biaya kuliah gue gak murah. Gue udah coba banyak hal buat bantuin bokap. Jadi barista, jadi koki, apapun. Tapi, gue ngerasa bayaran dari semua pekerjaan itu masih belum cukup. Ya, lo tau, lah. Bukan cuma UKT yang harus gue tanggung, tapi juga apapun yang gue butuhin selama ngampus."

Aku mengangguk mengerti. Aku tak tau harus menjawab apa, yang pasti, aku takkan bertanya lebih lanjut karena barangkali, pertanyaanku bisa melukai perasaannya. Ini saja, aku tak tau apakah aku baru saja menyakiti perasaannya atau tidak.

"Itulah kenapa gue ambil pekerjaan ini. Lagian, kayanya gak terlalu susah," kata Theo, kembali memetik gitarnya. "Lo pacar pertama gue, Alena."

Aku menaikkan sebelah alisku. "Beneran?"

Dia mengangguk. "Maksud gue, selama gue ada di pekerjaan ini. Lo pacar pertama gue. Gue baru di pekerjaan ini, sih."

Jadi, aku adalah cinta palsu pertamanya?

"Lo punya mantan pacar?" tanyaku lagi. "Maksud gue, pacaran beneran."

Dia tersenyum ringan, lalu bangkit dari posisinya. Dia berjalan menuju meja belajarnya, membuka nakas lalu meraih spidol yang memiliki sisi hitam dan merah.

"Siapa nama lengkap lo?" tanyanya, duduk kembali di posisi semula. Ketika dia baru saja duduk dan ada sekelebat angin dari gerakannya, aku dapat merasakan aroma parfum pria dari pakaiannya.

"Alena Retto," jawabku. Aku menyipitkan mataku, memerhatikan apa yang akan dia lakukan dengan spidol itu.

Dia membuka tutup spidol itu, lalu menulis sesuatu di atas gitarnya. "Alena Retto."

"Lo yakin mau nulis nama gue di situ?" tanyaku, terkekeh. "Tiap kali lo mainin gitar gitu, meskipun nanti kita udah pisah, lo bakalan keinget gue. Is that okay?"

"Lo tau gak, ada quotes yang bilang, apapun yang terjadi ke depannya, seenggaknya kita punya hari ini?" tanyanya. Sepersekian detik, tangannya meraih sebuah kotak yang ada di bawah lemari di dekat posisinya. "Gue seneng banget sama kenangan. Apapun."

Aku mengernyitkan dahiku ketika dia membuka kotak itu. Kotak itu hanya berisi barang-barang bekas seperti kertas ujian jaman SMA, botol aquades, beberapa surat, dan beberapa botol parfum yang sudah kosong.

"Ini apa?" tanyaku.

"Gue seneng mengabadikan dan nginget momen apapun," jawabnya. "Kotak ini berisi semua hal yang pengen gue inget lagi. Parfum ini juga gue simpen karena tiap kali gue cium, gue bakalan ngerasain masa umur dimana gue pake parfum itu."

Aku tersenyum, mengangguk mengerti. "Jadi, nama gue? Di gitar itu?"

Dia mengangguk. "Sebagai pacar gue, nama lo gue abadikan di gitar ini."

Pelangi Kelap Kelip [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang